16 Desember 2008


CAK ALI, FENOMENA CONSUMER ORIENTED MARKETING & IQRA
Di kompleks perumahan kami ada banyak tukang sayur keliling. Dan ternyata sangat menarik mengamati tukang- tukang sayur tersebut beserta karakteristiknya. Pengamatan ini bahkan juga bisa digunakan sebagai studi kasus penerapan strategi marketing!

POSITIONING & SEGMENTASI PASAR
Secara artifisial, dalam arti melalui suatu usaha yang dilakukan secara sengaja, masing-masing tukang sayur itu memiliki wilayah : mereka melakukan suatu kesepakatan untuk membagi daerah pemasaran. Namun karena dimungkinkan satu wilayah pemasaran untuk memiliki lebih dari satu tukang sayur, maka secara lebih alami terjadi segmentasi konsumen. Apabila diamati ternyata segmentasi itu terbentuk berdasarkan positioning yang ditawarkan masing-masing tukang sayur. Ada yang memposisikan sebagai yang termurah, terlengkap, atau terbagus kualitasnya.

HARGA MURAH SEBAGAI DAYA TARIK
Ada beberapa tukang sayur di kategori pertama ini, yakni tukang sayur dengan positioning sebagai yang termurah. Tukang sayur jenis ini biasanya men’charge’ harga jual yang tak jauh beda dibandingkan dengan harga yang ada di pasar tradisional. Bahkan sebenarnya bila dihitung dengan ongkos transportasi ke dan dari pasar, ongkos secara keseluruhan akan menjadi lebih murah. Segmen konsumen dari positioning ini cukup banyak, bahkan bisa dikatakan tukang sayur ini adalah favorit konsumen. Hal itu bisa juga dilihat dari banyaknya konsumen yang berbelanja hingga membentuk kerumunan. Ciri lain dari tukang sayur tipe ini adalah stok produk yang besar. Jadi, bisa dipastikan jenis barang/sayur yang dia bawa lebih terbatas. Biasanya dagangan yang dibawa adalah barang/sayur yang ‘umum’/standar. Meskipun memiliki banyak konsumen, tukang sayur jenis ini termasuk yang berisiko tinggi untuk tidak berkembang, mengingat marginnya yang pas-pasan. Apalagi jika mengingat bahwa untuk mendapatkan harga yang murah, dia harus belanja suatu jenis barang/bahan dalam jumlah lebih besar. Risiko untuk tidak laku/dibuang cukup besar juga.

ASSORTMENT YANG LENGKAP
Tukang sayur tipe kedua adalah tukang sayur dengan positioning terlengkap. Jumlah tukang sayur dengan tipe ini lebih terbatas. Harga yang ditawarkanpun sedikit lebih mahal dibandingkan dengan tipe pertama. Tukang sayur tipe kedua ini seringkali merespon dengan bangga “Ada dong!” bila kita menanyakan suatu jenis barang tertentu. Bahkan, ada seorang tukang sayur yang datang lengkap dengan ‘team motoris’nya. Bila ada satu kebutuhan konsumen yang tidak bisa dia penuhi, dia akan menawarkan untuk membelikannya di pasar!
Tukang sayur jenis ini biasanya ditandai dengan dagangan yang variatif, meskipun masih bisa dikatakan dari jenis yang umum/standar, dan masing-masing dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Konsumen ini tidaklah sebanyak tipe pertama, namun uniknya adalah, sering konsumen datang menggunakan motor/mobil, dari wilayah pemasaran yang berbeda. Hal itu menandakan bahwa tukang sayur ini dicari oleh konsumen! Tukang sayur tipe ini juga biasanya membawa sayur/barang yang unik, seperti tempe gembus/menjes, sayuran ‘eksotis’ seperti daun pakis, atau daun genjer dsb.nya. Mirip dengan tipe pertama, tipa ini juga berisiko : dagangan uniknya menjadi stok mati/dibuang, karena tidak setiap hari orang mau makan sayur daun genjer!

KUALITAS UTAMA
Tipe ketiga adalah tukang sayur yang mempositioningkan dirinya sebagai ‘penjual barang hanya dengan kualitas terbaik’. Sudah pasti, harga yang ditawarkan tukang sayur tipe ini adalah yang termahal, meskipun tetap saja lebih murah daripada pasar swalayan. Selain harga yang relatif mahal, ciri-ciri dari tukang sayur ini adalah jumlah barang yang tidak terlalu banyak, namun dikemas & didsiplay secara lebih menarik. Jenis barang yang dijual tentu saja lebih ber’kelas’. Misal, untuk tahu, dia hanya menjual tahu tanpa borax, tapi tidak asam, atau jenis tahu sutera yang lebih mahal. Konsumen tukang sayur tipe ini biasanya adalah ibu-ibu (atau pembantunya) yang jarang ke pasar tradisional, senang masak (mengutamakan kualitas&rasa), atau yang tidak peduli harga. Dibandingkan dengan kedua tipe sebelumnya, jumlah tukang sayur ini lebih sedikit, dan bahkan tidak semua ‘wilayah’ memilikinya. Sekalipun marginnya paling besar, tukang sayur tipe ini juga berisiko karena jumlah konsumennya yang lebih sedikit. Sekalipun jumlah stok per item dagangan sudah dibuat minimal, masih ada kemungkinan menjadi stok mati/dibuang. Apalagi dengan positioning dia sebagai penjual barang dengan kualitas terbaik, pantang baginya untuk menjual kembali dagangan yang tak laku kemarin (terutama untuk fresh product)!

CONSUMER ORIENTED MARKETING
Terlepas dari tipe yang mana, ketiga jenis tukang sayur tadi memiliki peluang dan risiko masing-masing. Namun yang pasti, mereka telah memasarkan “produk” mereka dengan kesadaran bahwa mereka harus menjual sesuatu yang diinginkan konsumen. Mereka telah menjalankan strategi pemasaran berorientasi ke konsumen. Belum lagi gaya penjualan yang berbeda-beda. Sekalipun rata-rata tukang sayur itu berasal dari daerah Jawa Tengah, mereka memiliki gaya yang beragam. Ada yang memakai gaya sopan & melayani, ada juga dengan gaya bercanda (kadang cenderung jadi ‘sok akrab’), ada juga yang bergaya bisnisman sejati : Yang ditawarkan bukan hanya sayur/lauk atau perlengkapan memasak lainnya, tapi juga pekerja rumah tangga atau jasa jual beli motor/mobil atau bahkan rumah! Semua itu dilandasi kesadaran bahwa setiap penjual harus memiliki keunikan nilai jual dibandingkan dengan pesaing.

NON CONSUMER ORIENTED MARKETING = NON PROFESSIONAL?
Di luar ketiga tipe tukang sayur tersebut, ada dua tipe lain yang saya kenal dan menarik perhatian untuk dibahas. Tipe pertama adalah yang masih belum berorientasi ke konsumen. Tukang sayur yang ada di tipe ini menurut hemat saya ‘tidak profesional’. Ketidakprofesionalan mereka seringkali berupa ketidakhadiran, meskipun terkadang kita sudah menitip beli sesuatu. Hal ini membuat mereka menjadi tidak bisa diandalkan. Namun ada juga bentuk ketidakprofesionalan yang lain. Saya mengenal seorang tukang sayur yang termasuk dalam kategori ini, yang begitu rajin : selalu paling pagi menjajakan dagangan (sekitar jam 06.00, sementara yang lain sekitar jam 07.00, 08.00 atau bahkan jam 09.00) dan mengitari kawasan kompleks beberapa kali. Namun dia orang yang selalu “memaksa” konsumen untuk membeli dagangannya, dengan dalih tidak punya uang kembalian, minta konsumen untuk membeli dalam jumlah yang lebih besar, dan seringkali marah kalau kita sudah memegang atau menanyakan suatu barang dan kita tidak jadi membelinya. Karena sering dibuat kesal, kami menjuluki tukang sayur ini dengan sebutan “si Jutek”, dan berusaha untuk tidak melakukan transaksi dengannya! Tak heran, saya perhatiakn dari hari ke hari dagangannya makin sedikit dan makin kelihatan tidak segar.

BEYOND CONSUMER ORIENTED MARKETING : CAK ALI YANG IQRA
Tipe tukang sayur kedua, di luar ketiga tipe ‘mainstream’ consumer oriented marketing, saya temui di rumah Ibu Mertua di Malang. Tukang sayur ini sangat menginspirasi diri saya. Saya begitu mengagumi pemahaman strategi pemasaran yang dia miliki. Secara harafiah, pastilah dia tidak membaca buku-buku tentang teori pemasaran, tapi pastilah dia dengan cerdas ‘membaca’ fenomena yang ada di sekitarnya, termasuk konsumen-konsumennya! Betapa tidak?
Tukang sayur tipe terakhir ini, menerapkan strategi personalized marketing. Jadi, tidak sekedar berorientasi ke konsumen, lebih dari itu, dia sudah menyajikan bentuk pelayanan personal ke masing-masing konsumennya. Semula, dia – Cak Ali - adalah tipe tukang sayur mainstream dengan pendekatan “assortment yang lengkap”. Apapun kebutuhan konsumen, dia sediakan. Namun seiring berjalannya waktu, Cak Ali mulai “membaca” konsumen-konsumennya.
”Oh, Ibu ini senang memasak jenis masakan ini, sehingga memerlukan bahan-bahan seperti ini.” Lebih dari itu, dia juga mulai membaca ritme kerja & bahkan pola berpikir Ibu-Ibu konsumennya. Dari pengamatannya, dia menyimpulkan bahwa pagi adalah saat paling hectic bagi seorang Ibu Rumah Tangga : Dia harus menyiapkan sarapan, membantu anak-anak/suami pergi sekolah/kantor, apalgi jika dia adalah Ibu Rumah Tangga yang juga bekerja kantoran! Hal ini membuat Ibu seringkali ‘blank’ di pagi hari : Masak apa ya, hari ini?! Semula, berdasarkan pemahamannya mengenai selera masing-masing Ibu, Cak Ali membantu dengan mengusulkan jenis masakan tertentu (tentu saja dengan mempertimbangkan stok yang dia bawa!). Tapi lama kelamaan dia menyadari, perlu ada usaha lebih dari sekedar membantu mengusulkan jenis masakan tertentu. Dari sinilah terlahir personalized service/pelayanan personal untuk para Ibu.
Diawali dengan usaha untuk membantu seorang Ibu yang ‘blank’, Cak Ali mulai memberikan nomor ponselnya ke Ibu-Ibu pelanggannya.
“Bu, kalau sudah tau mau masak apa, telepon saya ya Bu? Ini nomor saya. Saya belanja kan dini hari, jadi Ibu telepon atau sms saya, jam berapapun sebelum saya belanja, supaya saya bisa belikan kebutuhan Ibu”
Mungkin demi alasan kepraktisan – karena biasanya Ibu-Ibu sering lupa – dan juga pengembangan usaha akhirnya dia cetak (foto copy di atas kertas berwarna) selebaran kecil yang atraktif
MASAK APA BESOK PAGI? Butuh sayuran, ayam, daging, sea food, atau bahan-bahan & bumbu masak lainnya? Telepon atau sms saya : ALI 08.. - ... - ... Insya Allah saya sediakan”
Selebaran berwarna kuning itu juga dilengkapi dengan fotonya yang meskipun buram cukup jelas sebagai pengenal “Cak Ali si tukang sayur”. Upaya ini terus dikembangkan, tidak hanya dengan pasif menunggu pesanan melalui telepon/sms, Cak Ali rajin menjemput bola : Setiap siang hingga sore dia kunjungi rumah Ibu-Ibu dan mencatat kebutuhan belanja mereka. Jam berkunjungpun dia sesuaikan dengan profesi pelanggannya. Untuk Ibu Rumah Tangga yang tidak bekerja, dia akan datang lebih awal. Untuk Ibu Rumah Tangga yang bekerja di instansi pemerintah, dia datangi pada sore hari (ba’da Ashar) dan untuk pegawai swasta setelah Maghrib. Dia ‘membaca’ lagi konsumen-konsumennya!
Cara ini ternyata efektif, hingga makin lama makin banyak Ibu-Ibu yang beralih menjadi pelanggan servis personal Cak Ali. Mereka merasa sangat terbantu, apalagi harga yang di-charge Cak Ali juga tidak mahal, sama seperti tukang sayur dengan tipe ‘asortmen lengkap’ lainnya. Makin lama, porsi bisnis Cak Ali makin bergeser ke servis personal ini, hingga akhirnya dia memutuskan untuk fokus ke jasa ini, dan mewariskan gerobak sayurnya ke keponakannya! Apa cara begini tidak rugi, Cak?
“Wah, ndak Bu.... wong ini artinya dagangan saya pasti habis dibeli. Modal saya muter terus, saya ndak perlu repot mikirin sayuran busuk! Saya sekeluarga malah bisa ‘numpang masak’, hari ini saya masak rawon + telor asin & lalap kaya Bu Gunadi, besok bikin urap kaya Bu Sony, besoknya lagi asem-asem iga kaya Ibu...hehehe! Saya juga gak pusing ditawar! Kalau harga di pasar naik turun, pelanggan juga mau ngerti kok! Kan enak & sama-sama untung?!”
Saya tidak begitu tahu bagaimana kondisi perekonomian para tukang sayur. Tapi dari pembantu di rumah, saya tahu Cak Ali sudah membangun rumah di desanya di Jawa Timur, dan merombak total rumahnya di sini. Itu sudah cukup mengisyaratkan bahwa Cak Ali cukup sukses secara ekonomi (saya saja belum juga bisa merenovasi rumah!). Ketekunan, kesungguhan & kejeliannya membaca & berfikir untuk mendapatkan yang terbaik untuk diri & lingkungannya, berbuah hasil!
Lebih dari sekedar pemahaman tentang strategi marketing, Cak Ali mengajarkan kita semua untuk menelaah lagi pemahaman kita tentang sabda Allah ‘iqra/bacalah’. Allah mengajarkan untuk ‘membaca’ untuk memahami sesuatu, karena memang fitrah manusia adalah makhluk dengan pengetahuan terbatas, sebagaimana firmannya di surat Al ‘Alaq 1-5 :
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajari (manusia) dengan perantaraan kalam”
Kalam di sini – yang diyakini sebagai petunjuk Allah dan merupakan kunci ilmu & pengetahuan agama - bukan hanya berupa tulisan/bacaan. Kalam bisa juga berupa fenomena alam, fenomena sosial, dan sebagainya. Cak Ali mengajari kita : “Baca, pelajari, pikirkan, dan upayakan semaksimal mungkin” fenomena sosial yang ada di sekitarnya dengan cerdik. Andai saja kita semua dibekali kecerdasan untuk “iqra/membaca” kalam Allah seperti yang dimiliki oleh Cak Ali...Subhanallah!