26 Februari 2009

PDAM, SALURAN BOCOR & UANG KECIL

Setiap bulan saya minta tolong mbak Imah - pengasuh anak kami - untuk membayar rekening PDAM ke loket PDAM yang terletak di kompleks kelurahan dekat perumahan kami. Karena air sumur di rumah kurang begitu bagus (berlumut), 100% kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga dipenuhi oleh air berlangganan tersebut. Konsekuansi logisnya, saya harus membayar lebih mahal, terutama jika dibandingkan teman-teman di kantor atau saudara dengan jumlah anggota keluarga yang mirip dengan keluarga kami. Rata-rata sebulan kami menghabiskan sekitar Rp 300,000

TANGGAL 19 JANUARI
Hampir saja terlupa! Besok adalah hari terakhir pembayaran rekening PDAM. Untung saja di dompet masih ada uang sekitar Rp 350,000. Jadi, sebelum berangkat ke kantor, saya minta mbak Imah untuk membayar rekening PDAM segera (pagi), untuk memastikan loket masih buka & melayani konsumen. Jangan sampai terlambat karena saya tidak mau membayar denda!
Kira-kira pukul 11.00, mbak Imah menelepon dengan gugup
“Ibu, uangnya kurang. Tagihannya hampir satu juta rupiah!”
“Hah????? Jangan-jangan salah lihat atau salah hitung?”
“Iya Bu, saya saja gemetar saking kagetnya. Tapi memang angka itu yang tercantum di kuitansi”
Alhamdulillah, saya masih bersyukur ingat untuk membayar rekeningnya tanggal 19. Coba kalau baru ingat besoknya (tanggal 20 Januari), tidak bisa membayar karena uangnya kurang, sehingga harus kembali keesokan harinya (tanggal 21 Januari)…. Saya akan kena denda dari jumlah yang begitu besar!
Ketika keesokan harinya akhirnya mbak Imah kembali untuk membayar, petugas menyampaikan pesan bahwa kemungkinan ada kebocoran saluran. Petugas tersebut juga menyarankan untuk segera melapor ke kantor PDAM Depok seraya memberikan nomor telepon.

TINDAKAN EMERGENCY & TAGIHAN BULAN BERIKUTNYA
Malam harinya saya diskusi dengan mbak Imah, bagaimana cara mengatasi pembengkakan biaya pemakaian PDAM tersebut. Selain dengan menghemay pemakaian air, juga karena sebenarnya kami tahu, beberapa perlengkapan kami seperti wastafel & closet bocor tapi belum sempat diperbaiki. Akhirnya ditemukan solusi, mbak Imah akan mematikan kran sentral PDAM setiap kali tidak dipergunakan seperti malam hari, atau siang hari setelah memasak/mencuci. Penampungan air juga diaktifkan kembali : water tower, ember-ember & bak mandi dipastikan dalam keadaan penuh selama kran sentral dimatikan. Sementara, saya juga minta mbak Imah untuk mengawasi petugas PDAM yang mencatat jumlah pemakaian per bulan. Takutnya, sang petugas asal-asalan dalam mencatat angka di meteran.

Pada bulan berikutnya, tanggal 13 Februari 2009, saya kembali minta mbak Imah untuk membayar rekening PDAM. Karena yakin sudah bisa menekan pemborosan pemakaian air (termasuk juga karena kebocoran) saya berikan uang Rp 300,000. Feeling saya, sepertinya tagihan akan berkisar Rp 200,000.
Tetapi alangkah kagetnya saya ketika jam 10.00 mbak Imah menelepon ke kantor
“Ibu, bagaimana ini? Uangnya kurang lagi, kata petugas bulan Januari kita harus bayar Rp 967,000! Koq masih sebegitu tinggi ya Bu?”
Saya panik, berarti kebocoran tidak terjadi di saluran di dalam rumah saya, tapi di luar rumah! Saya segera menelepon ke kantor PDAM untuk melapor. Dari tetangga saya mendengar bahwa mengganti meteran PDAM (dengan asumsi biasanya kebocoran terjadi karena meteran berkarat atau tidak berfungsi dengan baik) tidaklah mahal biayanya.

MELAPOR KE PDAM
Setelah menanyakan persisnya lokasi rumah saya, petugas PDAM menyarankan untuk menghubungi bagian teknis di kantor PDAM Depok. Ketika akhirnya saya menghubungi kantor PDAM Depok, langsung minta disambungkan ke bagian teknis, operator dengan professional bertanya
“Kalau boleh saya tahu, untuk masalah apa ya Bu?”
Kemudian saya ceritakan kronologi peristiwa yang saya alami. Yang membuat saya kaget,
“Ibu, tagihan bulan Januari yang harus Ibu bayar bukan Rp 970,000 tapi Rp 96,700!”
Saya kurang percaya, jangan-jangan si mbak salah baca jumlah nol nya???
“Menurut catatan kami seperti itu Ibu. Jadi, tagihan bulan sebelumnya memang sekitar satu juta rupiah, dan tagihan itu sudah Ibu bayar lunas pada tanggal 28 Januari 2009. Nah…”
“Bukan tanggal 28 januari, mbak. Tapi 20 Januari” potong saya. Saya ingat betul tanggal pembayaran bulan lalu!
“28 Januari Ibu, di sini tercatat dengan jelas tanggal pelaporan adalah tanggal 28 Januari”
“Lah, saya kurang jelas apalagi? Di kuitansi jelas-jelas ada stempel tanggal 20 Januari. Dan lagi, kalau saya bayar di atas tanggal 20 pasti saya kena denda bukan? Berapa denda yang harus saya bayar kalau rekening yang harus saya bayar hampir satu juta rupiah?”
“Iya sih, bu… Tapi yang ada di data kami memang seperti itu, dan tagihan yang harus Ibu bayar bulan ini Rp 96,700 bukan Rp 970,000. Mungkin Ibu bisa kembali ke loket pembayaran, karena saya yakin petugas di sana yang salah baca!”


SALAH BACA, SALAH TANGGAL?
Satu hal yang patut disyukuri, saya tidak jadi mengeluarkan uang banyak bulan ini. Tapi karena penasaran, saya minta mbak Imah untuk segera kembali ke loket pembayaran dengan pesan sponsor untuk menanyakan soal salah baca sekaligus juga soal perbedaan antara tanggal pembayaran & tanggal pelaporan.
Benar juga! Mbak Imah melapor lagi,
“Iya Bu, ternyata memang benar hanya Rp 96,700”
OK, Alhamdulillah.
Lalu bagaimana soal tanggal pembayaran vs. tanggal pelaporan?
“Bu, aneh deh jawabannya…. Kata mbak petugasnya, waktu itu memang dilaporkan tanggal 28 januari karena katanya belum ada uang kecil! Maksudnya apa ya bu?”
Waduh, mbak… saya saja juga bingung. Apa ya hubungannya penundaan selama 8 hari dengan uang kecil? Setahu saya uang kecil diperlukan untuk pengembalian. Bukankah saya sudah menerima pengembalian? Atau kantor PDAM perlu menyediakan uang pengembalian ke petugas loket pembayaran? Atau….?
Saya jadi berpikir yang tidak positif.
Jangan-jangan sebenarnya konsumen tidak kena denda jika membayar lebih dari tanggal 20, selama belum berganti bulan…
Jangan-jangan petugas loket pembayaran tidak sekedar salah baca….
Jangan-jangan….

Kenapa ya, mesti banyak pertanyaan & praduga negatif?
Kenapa tidak dibuat sistem pembayaran on-line seperti yang sudah dilakukan Telkom & PLN? Semuanya serba transparan, pasti, dan praktis. Saya bisa membayar pada tanggal berapapun, jam berapapun, melalui ATM apapun, sesuai dengan aktivitas & preferensi masing-masing konsumen. Yang penting tidak terlambat.
Dan tidak ada lagi ‘jangan-jangan’ seperti ini…

25 Februari 2009

DPU, PDAM & Sunset Policy


SUATU PAGI DI JL. KELAPA DUA WETAN, CIRACAS, JAKTIM


Setiap pagi dalam perjalanan menuju kantor, saya mengantar anak-anak sekolah. Kebetulan lokasi sekolah anak-anak yang ada di Jalan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur itu searah dengan kantor saya. Jadi, tugas mengantar anak-anak ke sekolah saya lakukan dengan senang hati karena begitu efisien. Sekalipun jalan Kelapa Dua Wetan itu tidak besar dan lalu lalang kendaraan cukup ramai, bisa dikatakan arus lalu lintas di jalan tersebut cukup lancar. Kecuali jika ada pemakai jalan yang melanggar peraturan (angkot ngetem, berhenti sembarangan), juga hal-hal yang luar biasa seperti kecelakaan atau kendaraan mogok di jalan.

Tapi beberapa waktu yang lalu, di Jl. Kelapa Dua Wetan yang adem ayem itu terjadi kamacetan yang cukup parah. Ternyata kemacetan terjadi karena sedang ada pengerjaan pembetonan jalan sepanjang lebih kurang 100 meter. Pembetonan itu mengharuskan pemakai jalan untuk antri yang disebabkan oleh penggiliran jalan karena separuh badan jalan tidak bisa dilalui pada saat pengerjaan.

BETON VS ASPAL HOT MIX
Mungkin karena merasa tidaknyaman, pembetonan ini terasa sangat lama. Sebenarnya dalam hati saya mengeluh, kenapa lama sekali ya? Kalau pakai aspal hot mix pasti jauh lebih cepat rampung! Tapi setelah sadar manfaatnya, saya menerimanya dengan ikhlas. Ruas jalan yang dibeton ini cenderung rendah letaknya, sehingga membentuk cekungan yang di musim hujan berubah menjadi genangan air. Dan karena lebih sering terendam air, jalan menjadi cepat rusak & berlubang-lubang. Mengingat hal itu, memang jalan beton lah yang terbaik! Lebih awet & tahan air.

Setelah lebih dari tiga minggu bersabar, akhirnya pembetonan jalan itu selesai. Wah, terasa juga bedanya. Untuk mengkoreksi ketinggian jalan, sebelum dilakukan pembetonan, dilakukan penambahan tinggi badan jalan. Sehingga sekarang terasa lurus dan oleh karenanya lebih nyaman. Dan untuk mengatisipasi perendaman air, sepertinya kualitas betonnya juga ditingkatkan. Sekalipun saya amat awam dengan teknis pembetonan jalan, saya merasa betonnya cukup tebal & rapi pengerjaannya.

DEJA VU
Tapi kelegaan itu tidak berlangsung lama. Kira-kira seminggu (sekali lagi, SEMINGGU!) setelah pembetonan jalan rampung, jalan Kelapa Dua Wetan kembali macet & antri. Ada apa gerangan?
Rupanya, tengah dilakukan pembobolan jalan beton yang baru selesai dibangun! Pembobolan itu dilakukan secara melintang dari sisi timur jalan menyeberang ke sisi barat jalan. Dan karena namanya pembobolan, tentunya dilakukan dengan gaya suka hati alias berantakan!
Oh my God…. Kenapa?! Dan hanya selisih SEMINGGU!
Dari papan pengumuman yang diletakkan di badan jalan saya membaca pemberitahuan
MOHON MAAF PERJALANAN ANDA TERGANGGU. SEDANG ADA PERBAIKAN SALURAN – PDAM
Terus terang bukan hanya perjalanan saya yang terganggu, tapi juga hati nurani dan akal sehat saya! Apa yang sedang terjadi di Negara ini? Kenapa hal yang seperti ini sering atau bahkan selalu terjadi?

Berapa banyak pemborosan yang sudah dilakukan hanya karena tidak adanya koordinasi antar departemen? Atau memang hanya sampai di sini kualitas orang Indonesia?
Saya tidak tahu (dan tentu saja juga tidak ada yang bisa dan perlu memberitahu saya) di mana masalahnya dan siapa yang kurang berkoordinasi, tapi hati saya sangat hancur & tidak bisa mengerti, melihat bagaimana jalan beton yang bagus, bermanfaat, dan BARU SAJA DIBUAT ‘dihancurkan dengan semena-mena’!
Dan bukannya berpikir negatif atau prejudice, saya tidak yakin PDAM akan mengembalikan keadaan pembetonan persis seperti ketika selesai dibuat. Ya, karena sudah berapa kali kita mengalami atau menyaksikan hal yang memalukan seperti ini bukan?
Benar saja, bekas pembobolan itu tidak ditutup sama sekali kecuali tanah yang telah digali diurugkan kembali! SO PAINFUL!

KITA YANG MEMBAYAR!
Mengingat jelasnya fenomena jalan beton vs. saluran air di atas, sangat mudah bagi kita untuk menengarai pemborosan yang terjadi. Tapi saya tidak yakin bahwa pemborosan uang negara yang kasat mata tersebut akan ‘tertangkap’ sebagai suatu kesalahan, pelanggaran, atau kelalaian. Bisa saja ketika dilakukan pemeriksaan atau audit, terbukti bahwa semua telah sesuai peraturan, mengikuti prosedur & anggaran yang ditetapkan. Apalagi jika auditor hanya melihat dari sisi masing-masing Departemen, atau tidak melakukan kunjungan untuk melihat fisik pekerjaan.

Jika yang kasat mata saja sulit ‘tertangkap’, bagaimana dengan pemborosan yang tidak kasat mata? Atau lebih dalam lagi, bagaimana bisa menangkap pemborosan yang terjadi karena tidak efisiennya strategi atau rencana kerja suatu proyek? Bagaimana memprakirakan, memperhitungkan dan mencegah hilangnya potensi uang Negara karena ketidakefisienan?
Tragisnya, ketika pada suatu siang dalam perjalanan menuju Jakarta Pusat, saya membaca baliho mengenai pajak, yang bunyinya kira-kira
“Kota ini dibangun dengan Pajak Anda”
Makin teriris saja hati ini, terlebih jika mengingat jumlah pajak yang tertera di slip gaji yang rela tidak rela harus dipotong untuk dibayarkan ke Kas Negara. Juga ketika ingatan akan kehebohan di kantor sewaktu merespon Sunset Policy berkelebat di kepala saya. Sunset Policy, menurut saya benar-benar “bersahabat”. Maksudnya, saya menangkap kesan yang begitu lekat, dekat, dan tak terelakkan :
“Kukejar kau kemanapun kau pergi. Lebih baik menyerahkan diri sekarang daripada nanti tambah besar kesulitan & dendanya. Pokoknya hidupmu akan lebih susah! ”

Dan sampai saat ini, ketika musim hujan tiba, jalan beton itu masih merana. Luka melintang di badan jalan akibat pembobolan menciptakan lubang menganga dan menjadi wadah genangan air yang makin lama makin dalam sehingga mengganggu atau bahkan membahayakan pengguna jalan. Tepat di tengah tengah beton yang dijebol (yang berarti di tengah-tengah jalan!) dipasang papan penanda, agar orang berhati-hati). Dan pada bagian yang paling berlubang ditancapkan potongan pohon, sementara di bahu jalan, terdapat lubang menganga yang tertutup lembaran beton trotoar yang runtuh. Wah, makin ruwetlah tampangnya!
Setiap kali melewati Jl. Kelapa Dua Wetan, dan melihat pemandangan tersebut, hati saya terasa pedih dan malu….
Apa kata dunia?

ANGGUN


Secara tak sengaja, malam itu saya nonton BUKAN EMPAT MATA dengan bintang tamu ANGGUN (C Sasmi). Sepertinya Anggun ke Indonesia dalam rangka promosi albumnya + produk-produk yang dibintanginya, karena terlihat aktivitas berpromosi yang meningkat dari produk-produk tersebut.
Selama ini saya sebatas mengamati Anggun dengan perasaan kagum karena dia tambah cantik, seksi dan sukses membawa nama harum bangsa dalam menapak karier internasionalnya. Tapi sungguh, baru kali itulah saya melihat secara langsung (langsung di TV maksudnya) wawancara dengannya. Ternyata Anggun memiliki banyak facet kepribadian yang tidak sekedar menarik untuk disimak namun juga menjadi bahan refleksi dan perenungan diri.


ANGGUN SEBAGAI SEORANG PENYANYI
Kita semua melihat metamorfosis Anggun dari penyanyi remaja yang ceria dengan celana pendek, sepatu boot dan topi baretnya yang khas menjelma menjadi penyanyi wanita yang anggun, seksi & matang. Apapun gaya yang dipilihnya, Anggun selalu konsisten dalam mendampilkan citranya. Yang juga menjadi semakin kuat adalah kemampuan alah vokalnya. Sekalipun demikian, Anggun tetaplah orang yang rendah hati. Ketika di acara itu dihadirkan Candil ex Serieus sebagai “tamu misterius”nya, Anggun langsung berkomentar
“Saya mengagumi Mas Candil. Mas Candil ini saya anggap Mariah Carey-nya Indonesia karena kemampuan vokalnya dalam menjelajahi nada-nada tinggi!”
Wah, kalau saya sudah se level Anggun, apakah saya masih melihat Candil sebagai orang yang saya kagumi ya? Atau saya hanya melihat penyanyi-penyanyi top dunia sebagai idola saya?


ANGGUN SEBAGAI SEORANG PROFESIONAL
Kesan yang juga kuat menancap di benak saya setelah meyaksikan acara tersebut adalah : Anggun tahu apa yang akan diraihnya, apa yang harus dilakukannya, dan yang lebih penting lagi, apa yang tidak perlu dilakukannya.
Cerita bagaimana dia memutuskan meninggalkan Indonesia untuk karirnya, telah kita ketahui semua. Juga cerita bagaimana Anggun adalah seorang pribadi yang berprinsip & perfeksionis, yang menginginkan semua yang terbaik baik dari dirinya sendiri, maupun dari orang-orang yang bekerja di sekitar dia. Secara nalar saja, orang tanpa prinsip kuat & mengejar kualitas tinggi (perfeksionis) tidak akan mencapai hasil yang optimal. Terlebih untuk go international yang sangat ketat persaingannya
Tapi yang baru diketahui, paling tidak menurut saya, adalah bagaimana dia menolak tawaran untuk berperan sebagai Gadis Bond di film The World is Not Enough! Kenapa?
“Buat apa? Saya tidak dapat apa-apa di situ. Tampil sebentar, dicium sana dicium sini, …. lalu sudah! Apa manfaat ke depannya untuk saya? Tidak ada! Jadi buat apa saya harus melakukannya?”
Saya tidak membayangkan hal ini akan terjadi jika tawaran itu ditujukan ke penyanyi Indonesia lainnya. Apakah mereka juga akan berpikir seperti Anggun atau langsung menyambar penawaran itu “mumpung ada kesempatan”?


ANGGUN SEBAGAI ORANG INDONESIA
Sebenarnya banyak yang menyesalkan pergantian kewarganegaraan Anggun menjadi Warga Negara Perancis, dan mengkhawatirkan kikisnya keindonesiaan Anggun. Lalu apakah masih ada keindonesiaan yang tersisa dalam diri Anggun untuk diteruskan ke Kirana? Dengan cepat & yakin Anggun menjawab keraguan itu.
“Saya hanya berbicara dalam bahasa Indonesia dengan Kirana! Mbak, tolong ambilkan bola merah yang ada di balik pintu” katanya sambil mencontohkan
Jawaban itu, menurut saya benar-benar tak terduga dan sangat valid menegasi keraguan orang mengenai derajat keindonesiaan Anggun. Saya jadi teringat kuliah dosen Pengantar Ilmu Sosiologi Bp Prof Dr Soedjito yang menceritakan perdebatan tentang nasionalisme antara orang India & orang Thailand. Orang India meng-klaim mereka lebih nasionalis daripada orang Thailand, karena orang India mengenakan pakaian tradisional mereka sebagai pakaian sehari-hari. Sebaliknya orang Thailand mengatakan justru merekalah yang lebih nasionalis karena meskipun mereka mengenakan pakaian ‘internasional’, mereka sehari-hari berbahasa Thai!
Jadi, mana yang lebih nasionalis, tetap warganegara Indonesia tapi mengajarkan bahasa Perancis sebagai bahasa Ibu atau warganegara Perancis tapi berbahasa Indonesia?


ANGGUN SEBAGAI SEORANG PEREMPUAN & IBU
Beberapa kali Anggun menyebutkan bahwa dia sudah menunggu selama enam tahun sebelum akhirnya dia diberi kesempatan menjadi seorang Ibu dari Kirana Cipta Montana. Dan dia menyebutkan bagaimana segala sesuatunya menjadi berbeda hanya karena dia sudah menjadi seorang Ibu
“Semuanya seperti menjadi suatu keajaiban, bahkan untuk hal-hal yang sudah biasa saya lakukan. Pokoknya berbeda, semua menjadi luar biasa & lebih indah”
Dia juga bercerita bagaimana dia sekarang membatasi kegiatannya terutama yang di luar kota, sehingga tidak akan meninggalkan Kirana terlalu lama.
Melihat tingkat mobilitasnya sebagai wanita kosmopolitan, tentunya tekad itu memerlukan komitmen tinggi serta usaha yang luar biasa untuk mencapainya.
Jadi malu…, untuk saya yang tingkat mobilitasnya sebagian besar hanya sebatas Jakarta Selatan – Cimanggis, berapa jam sehari ya waktu yang tersedia untuk anak-anak?

Tapi selain hal-hal tersebut di atas, satu hal yang rasanya paling ‘menusuk’ saya adalah ketika Anggun membagi tips rahasia suksesnya. Menurut Anggun, sangat sederhana : Kalau punya mimpi, semustahil apapun itu, harus dikejar. Dan yang penting adalah
“MULAILAH UNTUK MELAKUKANNYA. Pokoknya, just do it. Gagal, tidak mengapa. Nanti bisa dicoba lagi! Yang penting kita sudah pernah memulai untuk mewujudkan niat, keinginan, cita-cita atau mimpi kita”
Kalimat itu bagaikan belati tajam yang menghujam dada saya . Baagaimana tidak? Banyak cita-cita, mimpi & keinginan saya belum terwujud, dan hampir semuanya karena sampai hari ini BELUM PERNAH SAYA MULAI untuk mencobanya! Bagaimana dengan Anda?

BUAT NGUPING JAKARTA

Mau dikirim ke Ngupingjakarta

BART SIMPSON

Di sebuah toko buku di Cibubur Junction, sudut kreativitas anak
Seorang anak berusia 3 tahun dengan bangga menunjukkan hasil karyanya mewarnai gambar BART SIMPSON kepada Ayahnya disaksikan kakak laki-lakinya (8 tahun)
Ayah : Wah…. Bagus sekali ya, gambar SPONGEBOBnya. Warnanya kuning, adik suka warna kuning ya?
Kakak : Idih Ayah… adik bukan mewarnai gambar SPONGEBOB lagee. Ini gambar JOHNNY BRAVO!
Adik : !@#$%^&*()+{}:"<>? (Pada ngomong apa siy?)


COGS
Di sebuah perusahaan dengan omset lebih dari Rp 500 milyar.
Finance (F) : Tolong konfirmasi bahwa angka ini adalah angka yang final dari Marketing
Marketing (M) : Loh, kan saya sudah bilang, bukan angka yang ini. Yang kemarin saya kirim tanggal 17, itu yang confirmed (agak kesel)
F : Loh kan saya juga sudah bilang, saya tidak bisa ambil angka versi tanggal 17 itu kecuali tidak ada perbedaan COGS dibandingkan versi ini! (Kesel banget)
M : Memang ada perbedaan COGS antara versi tanggal 17 dengan versi ini?
F : Sebentar….. ada, sedikit!
M : Berapa?
F : Rp 1 juta
M : Hah? Selisih Rp 1 juta jadi masalah? Tidak bisa dipakai?
F : Mmmmmm…. Bisa siy!
M : !@#$%^&*()+{}:”<>?.....


JAGORAWI

Di dalam mobil dalam perjalanan menuju sekolah. Seorang Ibu mengetes pengetahuan umum anaknya (8 tahun)
Ibu : Jabotabek singkatan apa?
Anak : Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi!
Ibu : Betul! Kalau Jagorawi?
Anak : Jakarta, Bogor,…..mmmm (ragu)… Betawi?


MATEMATIKA

Di dalam lift di sebuah gedung perkantoran di Jl. TB Simatupang
Seorang Ibu menceritakan percakapannya dengan anaknya yang tidak mau sekolah lagi
Ibu : Kenapa kamu tidak mau sekolah?
Anak : Ngapain? Gurunya aja bodoh
Ibu : Loh, koq bicara begitu?
Anak : Iyalah… orang apa-apa gak tau, apa-apa nanya. Matematika nanya, Bahasa Indonesia juga nanya
Ibu : Nanya bagaimana?
Anak : Iya, dia nanya ke aku, berapa 2 + 2! Dia juga nanya siapa nama teman yang duduk sebelahku! Kan dia harusnya tahu?!


PLN

Di suatu angkot, percakapan dua orang Ibu. Salah satunya baru pindah rumah ke daerah ‘elite’ di Cibubur
Ibu A : Wah, sekarang enak ya, tinggal di kompleks elite!
Ibu B : Alhamdulillah, tapi ternyata masalahnya tetep sama ya... seperti waktu tinggal di rumah lama.
Ibu A : Apaan?
Ibu B : Kalau musim hujan begini, listrik di rumah “nyala idup nyala idup” gitu…
(Kapan matinya?)


SOTO BETAWI
Suatu sore di sebuah perumahan di Cibubur. Percakapan seorang anak laki-laki (9 tahun) dengan ibunya mengenai menu makan siang di sekolah
Ibu : Tadi menunya apa? Soto Betawi ya ?
Anak : Huuuu…. Masih mending Soto Betawi! Tadi tuh soto daging tapi ada kentang & sayurannya terus pakai santan gitu…


SPION
Di suatu siaran acara Good Morning Hard Rockers, sedang membahas topik olahraga
Penyiar : Misalkan olah raga catur… setiap kali saya mindah satu SPION, saya akan…
(Di perempatan jalan ya?)


UANG KECIL
Percakapan antara seorang pekerja rumah tangga dengan petugas di loket pembayaran rekening PDAM di Cimanggis
PRT : Mbak, majikan saya tanya, kenapa bulan lalu saya bayar rekeningnya ke sini tanggal 20 tapi setelah dicek ke kantor PDAM baru dibayarkan tanggal 28? Kan jumlahnya besar, hampir satu juta. Uangnya kemana selama 8 hari?
Petugas : Oh iya, ….waktu itu belum ada uang kecil!
(Saya yang telmi, atau petugasnya yang sangat “canggih administrasi”?)

13 Februari 2009

VIDI ALDIANO VS. AFGAN




Lagu Nuansa Bening yang diciptakan oleh Keenan Nasution dinyanyikan kembali oleh pendatang baru Vidi Aldiano dan memuncaki tangga lagu terpopuler di beberapa stasiun radio untuk beberapa waktu. Saya pribadi sangat menyukainya. Menurut saya, Vidi berhasil membawakan lagu lawas itu dengan baik, membawa karakter yang kuat & menginterpretasikannya dengan kekinian yang begitu kental.

Vidi Aldiano Vs. Afgan
Sekalipun Vidi bukanlah orang pertama yang sukses mendaur ulang sebuah lagu, sebut saja Ello dengan “Pergi untuk Kembali”, Peter Pan dengan “Kisah Cintaku” atau bahkan juga penyanyi seangkatannya Derby Romero dengan “Gelora Asmara”. Namun membicarakan Vidi nampaknya tetap menarik, apalagi mengingat banyak orang menyebutnya sebagai Afgan ke-2.
Saya jadi teringat diskusi saya dengan mbak Vivid, Editor in Chief Majalah Remaja “Aneka Yess!”. Pada suatu kesempatan, beliau menceritakan bagaimana pengalaman mementaskan Afgan di saat Afgan belum terkenal.
Walah mbak... Saya waktu itu sampai pakai "TOA" teriak-teriak minta support ke penonton untuk berikan tepuk tangan ke Afgan. Waktu itu kan gaya culunnya belum dilihat orang! Eh... Sekarang malah jadi trade mark& trend setter!”

Terus terang, saya kagum pada mereka-mereka yang bekerja di media massa, terlebih yang berhubungan dengan remaja : mereka harus bekerja cepat, berlomba dengan waktu, pandai membaca situasi, dan juga harus cepat menentukan apa yang bakal jadi trend & disenengi remaja. Kalau tidak in ya bakal ditinggal remaja!
Dengan tolak pikir seperti itu, saya jadi tergelitik untuk menanyakan apa pendapat mbak Vivid, mengenai masa depan Vidi. Bukan meramal, tapi dengan pengalamannya mengamati & berhubungan dengan selebritas yang segudang, tentunya beliau bisa melihat benang merahnya


Bisa banget! Dia bisa jadi seperti Afgan atau bahkan lebih, tapi tentunya diperlukan juga dukungan media yang memadai!”

Lagunya yang daur ulang?

Yah, bisa jadi ada yang melihatnya kurang positif, tapi saya koq melihatnya justru itu bisa jadi nilai tambah buat dia. Siapa tau orang tua dari remaja-remaja ini ikut jadi penggemarnya!”

Vidi Aldiano Sebagai Suatu Merek/Brand
Sebagai orang yang setiap hari berkutat dengan masalah marketing, saya cenderung melihat Vidi sebagai suatu brand. Apakah Vidi memiliki ciri-ciri yang memadai untuk tumbuh menjadi suatu ‘brand’ yang besar? Bisakah Vidi menyamai atau bahkan melebihi Afgan?
Dengan matrix sederhana 4P&2P (Product, Price, Place, Promo & Positioning+Period) bisa kita bedah performance Vidi dan memprediksi masa depannya.

Product
Yang terutama ‘product’ di sini adalah kualitas dasar yang ditawarkan. Karena Vidi adalah penyanyi, maka kualitas dasar yang diperlukan tentunya adalah suara & pilihan lagu yang berkualitas. Memang, ada juga kisah sukses di mana penyanyi memiliki suara yang pas-pasan tapi karena lagunya cukup ’klik’ di telinga konsumen, albumnya jadi cukup laris. Tapi tentunya yang seperti ini akan menjadi kurang sustainable.
Dalam hal ini, sepertinya Vidi tak ada masalah. Kualitas suaranya bagus, pilihan lagunya juga unik, aransemennyapun cantik. Klop.
Termasuk dalam kategori ‘product’ ini adalah juga ”kemasan” yang menarik. Sekalipun mungkin tak se-manis Afgan, wajah Vidi cukup cute & bersahabat.

Yang tak kalah penting, saat ini orang menginginkan artis idolanya adalah orang-orang yang bersih, lurus & bisa dijadikana teladan. Memang ada juga yang mengunakan gossip sensasional untuk mendongkrak popularitas sesaat. Namun sepertinya banyak yang telah sadar bahwa kampanye negatif seperti ini justru akan membahayakan kelangsungan karir.
Sejauh ini tidak ada cerita miring dari Vidi, semoga memang demikian adanya dan tetap terjaga sampai nanti.

Price
Seperti hukum pasar sederhana, ”ada harga ada rupa”, penentuan ’harga’ yang tepat juga mempengaruhi kesuksesan seseorang. Untuk seorang Vidi, harga di sini tentunya bukan harga CD atau kasetnya. Tapi lebih ke tingkat profesionalisme & manajemennya : Penentuan harga yang tepat, dan kesiapan untuk menampilkan kualitas sesuai harga yang diberikan. Penting sekali buat seorang Vidi untuk dapat bersikap profesional. Datang tepat waktu, tampil prima... kalau bisa melebihi harapan penggemar/penonton!. Satu kesalahan yang juga sering dilakukan oleh para penyanyi (dan manajemennya) adalah bersikap tidak profesional dalam harga. Misalkan, sudah ada deal dengan harga tertentu, namun dibatalkan hanya karena ada penawaran lain dengan harga yang lebih menarik. Sesaat, nampaknya hal itu bisa mendongkrak harga penyanyi yang bersangkutan. Tapi sesungguhnya yang sedang terjadi adalah penyanyi itu meng-erosi harga (diri)nya sendiri.

Place
Sebagaimana umumnya suatu merek, Vidi juga pasti punya segmentasi pasar berdasarkan type konsumen dan type dia (suara, lagu) sendiri. Tampil di ajang musik bergengsi seperti Java Jazz bisa diimbangi dengan penampilan dengan tarif ”merakyat” misalkan di Pensi sekolah-sekolah, akan menghasilkan image penyanyi yang berkualitas sekaligus terjangkau dan bersahabat.

Promo
Seperti yang tadi telah dikatakan oleh Mbak Vivid, media merupakan support yang penting dalam membesarkan seorang penyanyi. Gunakan semua media yang ada untuk mengamplifikasi brand image : Above the Line (media cetak, elektronik & TV), Below the Line (kegiatan-kegiatan yang langsung berhubungan dengan konsumen/penggemar/penonton) ataupun juga On the Line (internet, sms, dan creative media lainnya).


Positioning + Period
Banyak yang menafsirkan positioning ini sebagai salah satu yang kaku dan sama terus menerus. Dengan alasan, takut orang akan mencapnya sebagai tidak memiliki positioning yang jelas, tidak konsisten atau bahkan tidak berkarakter. Positioning ini bersifat liquid, dan bergerak mengikuti arus jaman. Terlebih jika kita berbicara mengenai musik, hal yang tiak pernah terbebas dari dimensi ruang & waktu/jaman.
Segala sesuatu itu pasti ada masanya. Apa yang sangat disukai saat ini bisa menjadi yang menggelikan atau bahkan memuakkan di masa yang lain. Pasti ada pasang surut, apalagi penyanyi remaja yang jumlahnya saat ini sangat banyak! Tapi tidak berarti bahwa tidak ada cara untuk mengatasi penyakit ”hilang seiring waktu”
Salah satu contoh jelas mengenai hal ini adalah kecerdikan Jikustik dalam membaca selera pasar. Sadar bahwa lagu-lagunya yang ’melo’ punya banyak saingan, mereka meluncurkan album dengan irama disko yang upbeat, dan.... sukses! Beberapa orang bilang musiknya ’aneh’, tapi banyak orang bilang musiknya fresh, muda, sangat ’kini’ dan juga unik! Kalu Vidi sudah berhasil meng’kini’kan lagu Nuansa Bening, pasti dia juga bisa meng’kini’kan dirinya sendiri pada saatnya nanti!

Saya termasuk di antara orang-orang yang berkeyakinan bahwa Vidi nanti akan sehebat Afgan, atau bahkan bisa juga lebih! Tapi semua itu perlu usaha keras & strategi yang jitu dari diri Vidi & manajemennya. Bravo!

02 Februari 2009

BU FAJAR VS. MICHELLE PFEIFFER


Saya pertama kali berjumpa perempuan berprofesi tukang pijat berumur 47 tahun dengan perawakan cenderung bervolume itu sekitar tiga tahun yang lalu. Waktu itu saya tergiur untuk mencoba karena promosi tetangga
“Pokoknya dijamin deh….. otot-ototmu yang melintir bakal pulih! Pas dipijitnya sih sakit, tapi setelahnya pasti kamu ketagihan! Gak seperti tukang pijit lain, pas dipijitnya enak karena cuma di”cemek-cemek”. Tapi setelahnya kita gak dapat manfaat atau malah salah urat!”
Dan memang benar apa kata tetangga tersebut. Selama lebih kurang dua jam dipijat, saya ‘disiksa’ habis oleh bu Fajar!
“Wah, kaku semua ya Bu?! Gak pernah pijat ya?! Nanti kalau yang berikutnya, gak akan sesakit sekarang!”
Saya diam saja seolah mengiyakan. Padahal sebenarnya saya agak malu sekaligus kesal juga, berarti selama ini memang saya tidak dipijat, tapi cuma dicemek-cemek!
Cara pijat Bu Fajar begitu teliti, rasanya tak ada bagian tubuh saya yang luput dari pijatannya. Tidak heran kalau waktu pijat yang dibutuhkan sekitar dua jam! Pertama kali dipijat, saya menghabiskan waktu dua setengah jam. Mungkin karena Bu Fajar menemukan banyak “otot melintir” sehingga perlu perhatian ekstra dan pijatan yang lebih lama. Padahal, biasanya di bagian yang tidak beres itu pijatan terasa lebih sakit! Terhadap tukang pijat lain, saya punya strategi supaya bagian yang tidak beres itu tidak terlalu lama dipijat karena tidak mau menahan sakit terlalu lama. Saya cenderung ‘mengelabui’ tukang pijat dengan pura-pura tidak merespon : tidak mengaduh, tidak menahan/menolak – karena otot akan terasa menegang. Sekali merespon, tukang pijat justru akan memijat bagian tersebut lebih lama!
Tapi strategi itu tidak berlaku untuk bu Fajar! Dia tahu bagian mana yang perlu lebih lama dipijat dan bagian mana yang tidak, tanpa menunggu respon yang dipijat. Dan herannya, bu Fajar bisa menemukan banyak bagian yang “sakit”. Jadi, saya putuskan untuk menyerah : setiap kali rasa sakit itu tidak tertahankan, saya menggeliat sambil mengaduh atau malah minta ‘break’!
Seiring berjalannya waktu, saya makin mengenal bu Fajar. Banyak hal baru yang saya ketahui tentang Bu Fajar, termasuk soal namanya. Karena ternyata Fajar adalah nama anaknya. Jadi selama ini saya memanggilnya dengan “iBUnya FAJAR”. Nama asli bu Fajar sendiri saya belum tahu. Bu Fajar punya tiga anak laki-laki Wahyu, Dwi, dan si bungsu Fajar. Anak pertama, lulusan STM, baru punya anak dan mencari nafkah dengan membuka warung rokok sambil menjadi ….tukang pijat! Anak yang kedua, Dwi, juga sudah lulus STM dan bekerja sebagai tenaga honorer di kantor BUMN. Sedangkan si bungsu Fajar masih kelas 1 STM. Bapaknya? Sebenarnya tidak memiliki profesi yang tetap. Pernah berjualan es, pernah juga menjadi sopir, tapi sering juga tidak bekerja sama sekali. Bisa dikatakan, bu Fajarlah tulang punggung keluarganya. Hebatnya, tak pernah sekalipun saya mendengar bu Fajar mengeluhkan hal itu. Justru sebaliknya, seringkali dia mengungkapkan bagaimana posisi & dinamika hubungannya dengan suami sangat mempengaruhi penghasilannya sebagai tukang pijat.
“Saya percaya betul Bu, kalau Allah yang mengatur rejeki masing-masing orang. Dan, sejelek apapun suami kita, kita harus tetap hormati!”
Dia menceritakan bagaimana dia pernah ‘berencana’ untuk menabung : uang hasil pijat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan seharĂ­-hari, dan penghasilan suami ditabung untuk membeli tanah atau uang muka rumah. Tapi ternyata sepanjang yang dia ingat, ketika suaminya bekerja, panggilan pijat tiba-tiba meredup. Dan ketika suaminya menganggur, panggilan pijat kembali ramai.
“Ya berarti belum rejeki saya ya Bu, bisa punya rumah sendiri?!” Katanya santai
Yang juga menarik, bu Fajar pernah bercerita, bagaimana dia pernah ’mati nafkah’ karena mendiamkan suaminya yang menurut dia menjengkelkan tingkah lakunya. Selama tidak berkomunikasi dengan suaminya, tidak ada satupun panggilan pijat yang dia terima! Dan begitu dia minta maaf & kembali berkomunikasi dengan suaminya, keesokan harinya dia langsung mendapat panggilan pijat! Bahkan lebih dari 3 orang! Wah, saya jadi malu hati…. Seringkali saya protes, marah-marah, atau bahkan underestimate suami, dengan berlindung di balik jargon “kesetaraan gender” : kan sama-sama cari nafkah untuk keluarga?!
Bu Fajar berasal dari daerah Banjarnegara, sehingga saya terkadang tidak bisa menangkap 100% perkataannya. Selain karena sering menggunakan istilah-istilah bahasa Jawa yang tidak saya pahami - sekalipun saya lahir & besar di Yogyakarta – juga karena dialeknya yang unik “memperumit” arti kata-katanya (Misalkan, salah satu yang bisa saya ingat, dia menyebut ”nasi uduk” dengan ”sega utuk”). Tapi sepertinya bisa saya pahami pandangan hidupnya yang selalu positif. Mukanya juga berseri-seri karena sering tertawa, termasuk mentertawakan dirinya sendiri….
Ketika menyadari bentuk tubuh saya tidak pernah berubah bahkan ketika hamil, atau menyusui, dia memuji dan berkomentar
“Kalau saya ya begini ini bu, setelah KB. Yach, saya pilih gemuk aja deh, daripada keluar anak terus…. Nanti pusing kasih makannya! Hehehe…”
Saya PILIH gemuk...!
Kata-kata itu mengingatkan saya pada film “Dangerous Minds” yang dibintangi Michelle Pfeiffer. Di film ini Pfeiffer berperan sebagai Lou Anne Johnson guru ’magang’ yang menggunakan metode inkonvensional hingga berhasil mengubah kehidupan murid-muridnya. Satu pesan moral yang kuat menancap di benak saya adalah bahwa menjalani hidup ini seperti menentukan sebuah pilihan. Ketika menghadapi muridnya yang mengeluh mengenai tidak adanya pilihan untuk bisa bersekolah di tempat yang lebih layak, bu guru Johnson justru menantang dengan membeberkan bahwa sebenarnya ada pilihan lain : Tidak usah bersekolah, atau berbisnis narkoba. Tentu saja dengan segala konsekuensi-nya atau memilih bersekolah di sini dan berkembang untuk memperbaiki hidupnya.
Ternyata sikap aktif (memilih) itu sudah ada di benak sederhana bu Fajar. Saya jadi seperti diingatkan, karena terus terang seringkali saya merasa diri saya bukan sebagai subyek yang aktif menentukan/memilih tindakan-tindakan dalam hidup saya. Coba saja, bila kita terjebak dalam kemacetan, apakah kita cenderung berkata ”Tidak ada pilihan! Semua jalan pasti macet di jam-jam padat begini” atau ”Inilah konsekuensi yang saya terima karena saya memilih berangkat lebih siang supaya bisa bermain dengan si kecil lebih lama”?
Sejak menonton film Dangerous Mind (1995, berarti 14 tahun yang lalu!), saya memiliki kesadaran bahwa selalu ada pilihan dalam hidup ini. Tapi seiring waktu, kesadaran itu menipis, dan berganti dengan sikap apatis dalam menghadapi persoalan hidup. Percakapan dengan bu Fajar menyentak saya, untuk kembali menggali kesadaran tersebut.
Namun bu Fajar tidak hanya menyentak kesadaran saya kali itu saja. Terakhir, kira-kira 3 bulan yang lalu, kembali saya ”disentil”nya. Ceritanya, karena kekurangan SDM, saya terpaksa kerja ”marathon” di kantor. Setiap hari pulang larut malam, melanjutkan bekerja di rumah, dan bahkan terkadang harus masuk kantor di akhir pekan. Hal ini berlangsung kurang lebih selama 3 bulan, hingga saya merasa seluruh badan pegal, capek, dan lesu. Melihat saya seperti lampu kurang minyak, suami mengusulkan untuk pijat ”Mrs. Sunrise” – demikian suami saya menjulukinya. Wah, boleh juga!
Pada waktu memijat, karena lama tidak pijat, bu Fajar kembali berkomentar

”Wah, kaku bener nih Bu. Berapa lama ya, Ibu gak pijat?”
”Tiga bulan kali ya?! Aduh Bu, saya kecapekan! Wah, bener-bener deh, kerjaan koq tidak ada habis-habismya!”
keluh saya. Di luar dugaan, bu Fajar menimpal
“Bu, alhamdulillah… Ibu kecapekan karena pekerjaan-nya tidak habis-habis. Daripada kecapekan karena mencari pekerjaan? Kalau pekerjaan habis kan artinya PHK kan?!”
Astaghfirullah,…! Perasaan saya cambur aduk : Ya malu, ya minta ampun kepada Allah atas ketakaburan saya, ya bersyukur karena saya masih diberi amanah pekerjaan & nafkah …. Sampai saat ini, saya selalu ‘menunggu-nunggu’ saat bertemu dengan bu Fajar : Pencerahan apa lagi yang akan saya dapat darinya ya?!