24 Desember 2010

In-Memoriam Prof. DR. Gulardi H. Wiknjosastro, Sp.OG


Saya mengenal nama beliau dari teman-teman di kantor yang juga menjadi pasien langganan Prof. Gul – demikian Prof. DR. Gulardi H. Wiknjosastro, SpOG biasa disapa. Semua menyatakan kepuasannya menjadi pasien beliau. Saya sendiri belum punya anak waktu itu. Sehingga ketika akhirnya positif hamil, dan suami menanyakan akan berkonsultasi ke dokter kandungan siapa, dengan mantap saya langsung menjawab :
“Prof Gul”

Prof Gul sangat konsisten dengan gaya & kepribadiannya, sehingga semua orang akan mengenalnya sebagai sosok yang sama : sebuah pribadi yang sederhana, lugas, tidak mengada-ada, namun religius. Dan karena konsisten terhadap prinsip-prinsip hidupnya, terkadang orang melihatnya sebagai pribadi yang nyentrik, karena seringkali berbeda dengan persepsi orang pada umumnya.

Misalnya, Prof Gul adalah ahli mendeteksi kelainan janin secara dini dengan USG (saya lupa apa istilah keahlian itu). Beliau akan memberikan analisa yang sangat tepat, sehingga sering menjadi referensi atau second opinion bagi para calon ibu sebelum memutuskan untuk melakukan suatu tindakan. Ada banyak cerita yang saya dengar mengenai kehebatan Prof Gul dalam hal ini, baik dari sesama pasien sewaktu sama-sama menunggu giliran periksa atau juga pengalaman pribadi teman-teman di kantor. Saya membayangkan, bagaimana canggihnya perlengkapan USG yang digunakan Prof Gul. Tapi ternyata salah besar. Alat USG yang digunakan adalah alat yang kuno (minimal tidak baru, karena warna bodynya sudah menguning), dengan layar monitor kecil yang buram berwarna kehijauan.

Pernah iseng-iseng saya protes,
“Prof, ganti alat yang lebih canggih napa? Biar aku bisa lihat anakku lebih jelas”
“Buat apa? Yang penting saya masih bisa lihat. Nanti lihat anaknya kalau sudah di luar saja. Jangan kalau sudah lahir malah sering ditinggal”

Duh, nyindir para ibu pekerja nih…

Kesederhanaan itu juga diinterpretasikan beliau dalam menganalisa masalah, memberikan obat, dan juga proses persalinan. Pernah ketika kehamilan saya menginjak usia 6 bulan, saya pingsan di kantor dan dibawa ke RS YPK. Sesampainya di sana oleh tenaga paramedis saya diberi oksigen karena mengeluh pening dan agak susah bernafas. Ketika Prof Gul datang untuk memeriksa, beliau bertanya

“Ah, gak usah pakai begini-beginian. Dilepas saja. Mulai sekarang jangan di ruangan AC terus ya?! Sering-sering jalan keluar menghirup udara segar. Kasihan anaknya!”

Mual?
Makan permen jahe

Sembelit?
Minum Y*k*lt

Pantangan selama hamil?
Kerang, daging babi, daging anjing…

“Lah, saya kan gak mungkin makan daging babi atau daging anjing?” (sehari-hari saya memakai hijab)
“Iya, itu yang melarang Allah, bukan saya. Kalau kerang, orang gak hamil saja gak boleh makan, apalagi orang hamil?!” Gubrakk!

Intinya, makan apa saja boleh, asal jangan berlebihan.
Asyiik…. saya bisa tetap makan cabe, daging kambing, duren!

Kalau menebus resep di apotik, saya suka geli sendiri. Selain obatnya “antik” karena merek lama (sampai suka heran, masih ada ya obat ini?! Multivitamin ini dulu sering dikonsumsi almarhum ayah), juga karena biayanya tidak pernah lebih dari Rp 50,000! Ongkos periksa, termauk periksa USG dan hasil print out – kalau mau, Rp 100,000. Teman-teman lain yang periksa ke dokter kandungan yang “canggih” bisa habis ratusan ribu apalagi jika memakai periksa/cetak hasil periksa USG.

Kesederhanaan Prof Gul juga berarti sebuah religiusitas. Menurut beliau, melahirkan adalah suatu proses yang normal, manusiawi dan dilindungi oleh Sang Pencipta. Sehingga jarang sekali pasien beliau yang melahirkan dengan jalan operasi sectio caesarian. Kata-kata beliau selalu menyejukkan, terlebih pada detik-detik persalinan
“Sudah siap nih? Yuk…, baca bismillah dulu ya?!”
Kata-kata yang sederhana & berkesan santai tapi mampu mengubah kepanikan saya menjadi suatu sikap pasrah dan percaya Allah Sang Pemberi Hidup akan melindungi perjuangan saya.

Beliau juga orang yang ketat memantau kedisplinan pasien pasca melahirkan. Segera setelah persalinan, beliau berpesan
“Tujuh jam lagi dari sekarang, kalau tidak pusing, bangun dari tempat tidur, jalan-jalan, ke kamar mandi… Kalau pusing, minta suster untuk bantu pegang. Sekarang jam 05.00. Nanti jam 12.00 bangun ya?!” Wah salah, saya pikir kalau masih pusing, saya boleh nambah jam tiduran!
Tepat jam 12.00 suster datang mengontrol
“Ibu, sudah jam 12.00! Prof tadi pesan apa? Ayo bangun, kalau pusing saya bantu ya?!”
Saya protes, kenapa teman sekamar yang melahirkan beberapa jam lebih awal malah belum diminta bangun? Saya masih merasa kesakitan, perut 'geloyoran' dan badan rasanya kaku semua… Padahal teman sebelah sempat mengatakan kalau dia tidak merasa begitu kesakitan!
“Oh iya Bu,lain dokter lain gaya! Kalau Prof Gul ya begini ini! Sakit dan tidaknya juga tergantung pada obat anti sakit yang diberikan. Kalau Prof Gul biasanya anti sakit biasa, paling banter No*^#@in. Kalau Ibu itu obat anti sakit yang canggih”
Tapi memang terbukti, akhirnya saya yang lebih cepat pulih, bisa jalan-jalan, menyusui bayi dengan lebih “luwes” - karena bisa berganti macam posisi dengan nyaman. Badan saya sudah tidak kaku lagi. Dan yang paling menggembirakan, saya pulang lebih cepat dibandingkan teman sekamar!

Ketika dua tahun kemudian saya hamil lagi, saya kembali kontrol ke Prof Gul. Di kehamilan ini saya menjadi pasien “pintar”, tidak manja, menyelesaikan masalah “standar” sesuai saran Prof Gul : permen jahe, Y*^#lt, banyak menghirup udara segar, dsb., dsb. Semuanya juga masih sama persis, kecuali bahwa sekarang beliau tidak lagi buka praktek di kediamannya dan saya melihat Prof Gul terlihat lebih tua dan lelah. Sekalipun demikian, buat saya – dan saya rasa demikian juga dengan pasien-pasien lain – bertemu dan berkonsultasi dengan Prof Gul adalah hal yang menyenangkan dan ditunggu-tunggu. Ingin rasanya setiap tahun bisa hamil dan melahirkan, supaya punya alasan bisa bertemu Prof Gul! Bukan genit loh, rasanya seperti punya Ayah ideal : siap menolong kita, menenangkan kita dan memberi semangat dan energi. Sepertinya, dialah yang paling mengerti kita! (Maaf, para suami... kalian kalah dech! Abis, masih suka "ngerepotin" trus belum ngerti-ngerti juga bagaimana kondisi & situasi perempuan hamil, sich! Hehehe!)

Sekalipun saya tahu saya hanyalah satu di antara sekian ribu pasien yang pernah ditangani Prof Gul, saya merasa saya adalah pasien istimewa beliau dan memiliki hubungan batin yang kuat. Buktinya? Seminggu sebelum kontrol, saya bermimpi saya sedang kontrol dan bertanya tentang jenis kelamin anak yang saya kandung. Dalam mimpi itu, Prof Gul menjelaskan dengan mantap, sambil mengangguk-angguk
“Laki-laki”

Pada waktu kontrol, Prof Gul bertanya
“Mau tau gak, dede’nya laki-laki apa perempuan?”
“Mau dong! Laki-laki apa perempuan, Prof?”
“Penginnya apa?”
“Laki-laki lagi”
kata saya sambil teringat mimpi saya minggu lalu
“Ya udah terkabul deh doanya! Tuh, “monas”nya kelihatan!”
Ah, mungkin ge-er aja kali ya saya?!

Saya hanya "manja" ketika detik-detik melahirkan. Kebetulan, di kedua kehamilan saya mengalamai pecah ketuban. Sebenarnya kehamilan kali ini saya merasa lebih santai sekaligus lebih kuat, dibandingkan kehamilan sebelumnya. Ketika tengah malam saya pecah ketuban, saya dengan santai bermobil ke Rumah Sakit Bersalin. Sepanjang perjalanan saya monitor siklus kemunculan mulas periodik terasa makin lama makin cepat, wah pasti sudah dekat masa melahirkan nih, pikir saya.
Benar juga, ketika dicek suster, ternyata sudah bukaan 8!
Segera saya dibawa ke ruang bersalin. Di situ telah menunggu beberapa suster dan seorang bidan. Setelah dilakukan persiapan, bidan segera memberi aba-aba untuk mengatur nafas dan bersiap melahirkan. Manja saya muncul…

“Tidak, saya hanya mau melahirkan ditemani Prof Gul!”Saya tahu Prof Gul sudah di Rumah Sakit Bersalin ini karena baru saja menolong persalinan, jadi kenapa saya tidak boleh ditemani Prof Gul?
“Prof Gul sedang makan (sahur). Ini dede'nya sudah siap lahir…. Mau nunggu?!”
Saya memilih menunggu, sambil menahan keinginan mengejan karena rasa mulas yang makin memuncak.
Dan ketika Prof Gul muncul di ruang bersalin, bidan "mengeluh"
"Nih, Prof. Ngga mau ngelahirin kalau tidak ditungguin Prof!"
Sambil mengenakan sarung tangan, keluarlah kalimat yang menyejukkan itu
“Kenapaaaa? Sudah siap? Yuk…. Baca bismillah dulu ya?!”

Dua tahun yang lalu, ketika dilakukan medical check up rutin, dokter kantor menemukan ada tonjolan di rahim saya. Saya ingat Prof Gul sudah mengetahui hal ini sejak kehamilan pertama dan menyatakan tidak apa-apa (aman). Tapi oleh dokter kantor, saya tetap diminta kontrol ke dokter kandungan. Siapa lagi, kalau bukan Prof Gul! Ketika saya mencoba membuat janji ketemu dengan beliau di RS YPK, operator menjawab
“Oh, maaf Ibu, Prof Gul cuti untuk waktu yang tidak ditentukan karena beliau sedang sakit”
Saya terhenyak oleh kalimat "untuk waktu yang tidak ditentukan". Pasti sakit yang serius. Saya jadi teringat, ketika periksa kehamilan terakhir, beliau Nampak lebih tua dan lelah. Mungkin pada saat itu beliau sudah merasakan penyakit yang menderanya. Saya hanya bisa prihatin dan berdoa untuk kesembuhan beliau

Hari ini, tiba-tiba saya teringat Prof Gul. Ketika saya coba menanyakan kabar beliau, operator RSB YPK menjawab,
“Maaf Ibu, Prof Gul sudah meninggal dunia”

Innalillaahi wa inna ilaihi roji’un….

Semoga arwah beliau diterima di sisi Allah s.w.t sesuai amal ibadah beliau, dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan kekuatan. Akan kami kenang kesederhanaan, kelugasan dan ketenangan Prof Gul sebagai sesuatu yang indah, yang mengawali sebuah anugerah yang diberi nama “kehidupan”
Al Fatihah untuk Prof. DR. Gulardi H. Wiknjosastro, Sp.OG

16 Maret 2009

TAMBORIN KOQ PEDES?

Tiga hari ini, emosi saya dibuat naik turun oleh Haydar (9 tahun). Empat hari yang lalu (Kamis, 12/03/09) Haydar yang berpantang makanan mengandung Casein & Gluten 'merampok' kue adiknya yang jelas-jelas mengandung casein & gluten. Akibatnya, perilaku berubah menjadi agresif dan sukar fokus.

Jumat 13 Maret 2009 - Pagi-pagi di keributan menjelang berangkat sekolah
Secara tidak sengaja saya mendengar dia memukul mbak Yani - pengasuh adiknya. Barulah setelah saya tegur, mbak Yani cerita kalau kemarin dia juga dipukul Haydar - karena mbak Yani menolak memberikan kue adiknya.
Sebagai hukuman, saya minta dia untuk meninggalkan rumah, dan mencari rumah baru yang menerapkan peraturan yang sesuai dengan keinginannya, atau bahkan yang tidak menerapkan peraturan sama sekali.
Dan karena saya khawatir Haydar akan membuat 'keonaran' yang sama di sekolah, hari itu Haydar tidak saya ijinkan masuk sekolah.
Barangkali banyak yang menyayangkan kenapa hukumannya tidak mendidik? Memang begitu, tetapi sebenarnya konteksnya adalah sebelumnya saya pernah katakan, bahwa kelakuan Haydar sehari-hari koq tidak mencerminkan karakter anak yang bersekolah di sekolah yang berkualitas dan mengajarkan sopan santun. Jangan-jangan sebenarnya Haydar lebih cocok bersekolah di "Al Pasar" (pelesetan dari Al Azhar, dan kebetulan karena ada sekolah dengan kualitas yang tidak diketahui yang letaknya dekat pasar). Jadi, tetap bersekolah di Al Falah - sekolahnya sekarang - menjadi keinginan terbesar Haydar. Risikonya, ya harus mengikuti peraturan yang ada.

Jumat 13 Maret 2009 - malam menjelang pulang kantor
Haydar menelepon, mengatakan bahwa sudah mengerti apa dimaksudkan oleh bundanya, dan berjanji untuk mengikuti peraturan yang ada dan berusaha menjadi anak sholeh.
Dia kemudian membaca ikrarnya - cukup panjang, antara lain :
Tidak makan kue adik & disiplin berdiet
Makan makanan dan lauk yang disediakan
Mengikuti peraturan
Sholat tepat waktu
Hormat & sopan terhadap orang dewasa
Menggunakan barang sesuai fungsi
dsb, dsb...
Jadwalnya cukup panjang, sehingga ketika speaker telepon di kantor saya pasang, semua orang di kantor yang mendengar menjadi tertawa geli. Mereka mengira saya menyuruh Haydar untuk membuat daftar janji tersebut. Padahal, tidak sama sekali.
Dia juga mengatakan,
"Bunda, hari ini kakak lengkap sholat di Masjid. Sholat Jumat, sholat Ashar & sholat Magrib. Ini sekarang sedang bersiap untuk sholat Isya'"
Oooooooo.... totweeeetttt!!!

Sampai di rumah, mbak Yani mengiyakan sehari ini Haydar sangat pintar dan sayang adiknya.
Hmmmmmm.....

Sabtu, 14 Maret 2009. Pagi hari, setelah sempat menikmati pagi yang cerah
Sepulang sholat Shubuh di Masjid, dans etelah sarapan, Haydar pergi bermain, naik sepeda kebanggaannya. Pulang sudah agak siang, sekitar jam 10.00, dalam kondisi kucel & memakai sandal..... sebelah! Loh, kemana yang sebelah?
"Disembunyikan teman!"
Ayahnya segera minta dia mencari, sampai ketemu. Kebetulan sebelumnya dia kena tegur karena sandal dan sepatu selalu cepat rusak karena dipakai tidak sesuai fungsi (antara lain diinjak) atau bahkan hilang tak tentu rimba.
Dengan merengek-rengek, dia menjelaskan, tidak mungkin untuk mendapatkan kembali sebelah sandal sandal itu karena dibuang temannya ke got yang airnya mengalir cukup deras.
Kenapa sampai dibuang?
"Karena dia mau pinjam sepedaku, tapi aku gak boleh, jadi dia marah-marah terus membuang sandalku!!"
Karena sudah sering "diperdaya" saya minta mbak Yani untuk menemani mencari ke tempat sandal dibuang, syukur-syukur bisa ketemu temannya yang membuang supaya jelas duduk permasalahannya.
Ternyata,
"Kata Ibu temannya, sandal Haydar dibuang karena temannya marah & kesakitan ditendang-tendang Haydar!"
Hmmmmmm.....

Minggu, 15 Maret 2009. Seharian.
Totally 'off'. Haydar benar-benar menjengkelkan dan terlihat memancing amarah kami. Mulai dari minta lauk yang tidak disediakan, minta jajan, mainan HP, tidak mau mandi, merengek-rengek minta main ke rumah temannya (padahal1 minggu sebelumnya sudah main kesana), dan tidak mau mengerjakan PR untuk esok harinya.
Sore hari, kami mendapat undangan untuk berkumpul bersama kerabat. Tidak ada acara spesifik, hanya kumpul-kumpul, ngobrol sambil makan nasi uduk+ayam goreng. Di kesempatan itu, saya membawa martabak telor untuk tuan rumah dan Haydar menghabiskan 8 potong sendiri!
Tibalah saat Maghrib. Kami lalu berjamaah. Alhamdulillah Haydar dengan lancar dan lantang ber-iqomat. Ah, semoga ini menjadi penutup hari berat Haydar.
Tapi ternyata tidak!
Selain nada "aamiin" yang melenceng & berkesan bergurau, dia juga tertawa di tengah sholat ketika ada kerabat yang datang yang tidak bisa masuk rumah karena pintu terkunci (kami sholat di ruang tamu). yang menyedihkan, Fikhar adiknya yang sholat bersama kami juga ikut tertawa bahkan sampai terbahak-bahak!
Dalam perjalanan pulang, Haydar tertidur pulas di mobil. Wah, sudah pasti tidak bisa mengerjakan PRnya!

Senin, 16 Maret 2009. Shubuh.
Alarm HP berbunyi. Haydar yang memasang alarm tersebut. Biasanya dia akan bersiap-siap untuk sholat shubuh. Benar Haydar terbangun, mematikan alarm, dan bergegas ke kamar mandi. Saya semula berfikir dia mau berwudlu. Tapi setelah saya dengar-dengarkan, ternyata dia hanya membasuh (karena mengompol), ganti baju dan....tidur lagi
"Masih mengantuk!" Kilahnya.
Saya - yang juga sudah menyiapkan buku PRnya - berusaha membangunkan. Tak berhasil.

Akhirnya Haydar berhasil bangun lagi pukul 06.30. Sudah sangat terlambat untuk mengerjakan PR. Tapi saya bertekad untuk mengajarinya bertanggungjawab & menepati janji mentuntaskan tugas.
PRnya Musik dan Matematika.
Saya minta dia untuk duduk di mejanya dan mulai mengerjakan tugas.
Saya sudah tidak bisa senyum, apalagi mengingat saya pasti juga akan terlambat datang ke kantor! Hari Senin, hari pertama Kampanye Terbuka pula!
Salah satu soal musik mengenai jenis irama musik (ritmik & melodik) beserta contoh alat musiknya.
Di buku panduan, tercantum tamborin atau kecrek sebagai salah satu contoh alat musik ritmik.
Ketika saya tanya apa contoh alat musik ritmik, Haydar dengan ragu-ragu menjawab
"ehm.... Krecek!"
Saya yang sudah emosi & panik jadi sibuk menahan ketawa. Bagaimana tidak? Ini soal alat musik atau gudeg? JANGAN PEDES-PEDES YA NAK.....
Haydar.... Haydar....!!!

26 Februari 2009

PDAM, SALURAN BOCOR & UANG KECIL

Setiap bulan saya minta tolong mbak Imah - pengasuh anak kami - untuk membayar rekening PDAM ke loket PDAM yang terletak di kompleks kelurahan dekat perumahan kami. Karena air sumur di rumah kurang begitu bagus (berlumut), 100% kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga dipenuhi oleh air berlangganan tersebut. Konsekuansi logisnya, saya harus membayar lebih mahal, terutama jika dibandingkan teman-teman di kantor atau saudara dengan jumlah anggota keluarga yang mirip dengan keluarga kami. Rata-rata sebulan kami menghabiskan sekitar Rp 300,000

TANGGAL 19 JANUARI
Hampir saja terlupa! Besok adalah hari terakhir pembayaran rekening PDAM. Untung saja di dompet masih ada uang sekitar Rp 350,000. Jadi, sebelum berangkat ke kantor, saya minta mbak Imah untuk membayar rekening PDAM segera (pagi), untuk memastikan loket masih buka & melayani konsumen. Jangan sampai terlambat karena saya tidak mau membayar denda!
Kira-kira pukul 11.00, mbak Imah menelepon dengan gugup
“Ibu, uangnya kurang. Tagihannya hampir satu juta rupiah!”
“Hah????? Jangan-jangan salah lihat atau salah hitung?”
“Iya Bu, saya saja gemetar saking kagetnya. Tapi memang angka itu yang tercantum di kuitansi”
Alhamdulillah, saya masih bersyukur ingat untuk membayar rekeningnya tanggal 19. Coba kalau baru ingat besoknya (tanggal 20 Januari), tidak bisa membayar karena uangnya kurang, sehingga harus kembali keesokan harinya (tanggal 21 Januari)…. Saya akan kena denda dari jumlah yang begitu besar!
Ketika keesokan harinya akhirnya mbak Imah kembali untuk membayar, petugas menyampaikan pesan bahwa kemungkinan ada kebocoran saluran. Petugas tersebut juga menyarankan untuk segera melapor ke kantor PDAM Depok seraya memberikan nomor telepon.

TINDAKAN EMERGENCY & TAGIHAN BULAN BERIKUTNYA
Malam harinya saya diskusi dengan mbak Imah, bagaimana cara mengatasi pembengkakan biaya pemakaian PDAM tersebut. Selain dengan menghemay pemakaian air, juga karena sebenarnya kami tahu, beberapa perlengkapan kami seperti wastafel & closet bocor tapi belum sempat diperbaiki. Akhirnya ditemukan solusi, mbak Imah akan mematikan kran sentral PDAM setiap kali tidak dipergunakan seperti malam hari, atau siang hari setelah memasak/mencuci. Penampungan air juga diaktifkan kembali : water tower, ember-ember & bak mandi dipastikan dalam keadaan penuh selama kran sentral dimatikan. Sementara, saya juga minta mbak Imah untuk mengawasi petugas PDAM yang mencatat jumlah pemakaian per bulan. Takutnya, sang petugas asal-asalan dalam mencatat angka di meteran.

Pada bulan berikutnya, tanggal 13 Februari 2009, saya kembali minta mbak Imah untuk membayar rekening PDAM. Karena yakin sudah bisa menekan pemborosan pemakaian air (termasuk juga karena kebocoran) saya berikan uang Rp 300,000. Feeling saya, sepertinya tagihan akan berkisar Rp 200,000.
Tetapi alangkah kagetnya saya ketika jam 10.00 mbak Imah menelepon ke kantor
“Ibu, bagaimana ini? Uangnya kurang lagi, kata petugas bulan Januari kita harus bayar Rp 967,000! Koq masih sebegitu tinggi ya Bu?”
Saya panik, berarti kebocoran tidak terjadi di saluran di dalam rumah saya, tapi di luar rumah! Saya segera menelepon ke kantor PDAM untuk melapor. Dari tetangga saya mendengar bahwa mengganti meteran PDAM (dengan asumsi biasanya kebocoran terjadi karena meteran berkarat atau tidak berfungsi dengan baik) tidaklah mahal biayanya.

MELAPOR KE PDAM
Setelah menanyakan persisnya lokasi rumah saya, petugas PDAM menyarankan untuk menghubungi bagian teknis di kantor PDAM Depok. Ketika akhirnya saya menghubungi kantor PDAM Depok, langsung minta disambungkan ke bagian teknis, operator dengan professional bertanya
“Kalau boleh saya tahu, untuk masalah apa ya Bu?”
Kemudian saya ceritakan kronologi peristiwa yang saya alami. Yang membuat saya kaget,
“Ibu, tagihan bulan Januari yang harus Ibu bayar bukan Rp 970,000 tapi Rp 96,700!”
Saya kurang percaya, jangan-jangan si mbak salah baca jumlah nol nya???
“Menurut catatan kami seperti itu Ibu. Jadi, tagihan bulan sebelumnya memang sekitar satu juta rupiah, dan tagihan itu sudah Ibu bayar lunas pada tanggal 28 Januari 2009. Nah…”
“Bukan tanggal 28 januari, mbak. Tapi 20 Januari” potong saya. Saya ingat betul tanggal pembayaran bulan lalu!
“28 Januari Ibu, di sini tercatat dengan jelas tanggal pelaporan adalah tanggal 28 Januari”
“Lah, saya kurang jelas apalagi? Di kuitansi jelas-jelas ada stempel tanggal 20 Januari. Dan lagi, kalau saya bayar di atas tanggal 20 pasti saya kena denda bukan? Berapa denda yang harus saya bayar kalau rekening yang harus saya bayar hampir satu juta rupiah?”
“Iya sih, bu… Tapi yang ada di data kami memang seperti itu, dan tagihan yang harus Ibu bayar bulan ini Rp 96,700 bukan Rp 970,000. Mungkin Ibu bisa kembali ke loket pembayaran, karena saya yakin petugas di sana yang salah baca!”


SALAH BACA, SALAH TANGGAL?
Satu hal yang patut disyukuri, saya tidak jadi mengeluarkan uang banyak bulan ini. Tapi karena penasaran, saya minta mbak Imah untuk segera kembali ke loket pembayaran dengan pesan sponsor untuk menanyakan soal salah baca sekaligus juga soal perbedaan antara tanggal pembayaran & tanggal pelaporan.
Benar juga! Mbak Imah melapor lagi,
“Iya Bu, ternyata memang benar hanya Rp 96,700”
OK, Alhamdulillah.
Lalu bagaimana soal tanggal pembayaran vs. tanggal pelaporan?
“Bu, aneh deh jawabannya…. Kata mbak petugasnya, waktu itu memang dilaporkan tanggal 28 januari karena katanya belum ada uang kecil! Maksudnya apa ya bu?”
Waduh, mbak… saya saja juga bingung. Apa ya hubungannya penundaan selama 8 hari dengan uang kecil? Setahu saya uang kecil diperlukan untuk pengembalian. Bukankah saya sudah menerima pengembalian? Atau kantor PDAM perlu menyediakan uang pengembalian ke petugas loket pembayaran? Atau….?
Saya jadi berpikir yang tidak positif.
Jangan-jangan sebenarnya konsumen tidak kena denda jika membayar lebih dari tanggal 20, selama belum berganti bulan…
Jangan-jangan petugas loket pembayaran tidak sekedar salah baca….
Jangan-jangan….

Kenapa ya, mesti banyak pertanyaan & praduga negatif?
Kenapa tidak dibuat sistem pembayaran on-line seperti yang sudah dilakukan Telkom & PLN? Semuanya serba transparan, pasti, dan praktis. Saya bisa membayar pada tanggal berapapun, jam berapapun, melalui ATM apapun, sesuai dengan aktivitas & preferensi masing-masing konsumen. Yang penting tidak terlambat.
Dan tidak ada lagi ‘jangan-jangan’ seperti ini…

25 Februari 2009

DPU, PDAM & Sunset Policy


SUATU PAGI DI JL. KELAPA DUA WETAN, CIRACAS, JAKTIM


Setiap pagi dalam perjalanan menuju kantor, saya mengantar anak-anak sekolah. Kebetulan lokasi sekolah anak-anak yang ada di Jalan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur itu searah dengan kantor saya. Jadi, tugas mengantar anak-anak ke sekolah saya lakukan dengan senang hati karena begitu efisien. Sekalipun jalan Kelapa Dua Wetan itu tidak besar dan lalu lalang kendaraan cukup ramai, bisa dikatakan arus lalu lintas di jalan tersebut cukup lancar. Kecuali jika ada pemakai jalan yang melanggar peraturan (angkot ngetem, berhenti sembarangan), juga hal-hal yang luar biasa seperti kecelakaan atau kendaraan mogok di jalan.

Tapi beberapa waktu yang lalu, di Jl. Kelapa Dua Wetan yang adem ayem itu terjadi kamacetan yang cukup parah. Ternyata kemacetan terjadi karena sedang ada pengerjaan pembetonan jalan sepanjang lebih kurang 100 meter. Pembetonan itu mengharuskan pemakai jalan untuk antri yang disebabkan oleh penggiliran jalan karena separuh badan jalan tidak bisa dilalui pada saat pengerjaan.

BETON VS ASPAL HOT MIX
Mungkin karena merasa tidaknyaman, pembetonan ini terasa sangat lama. Sebenarnya dalam hati saya mengeluh, kenapa lama sekali ya? Kalau pakai aspal hot mix pasti jauh lebih cepat rampung! Tapi setelah sadar manfaatnya, saya menerimanya dengan ikhlas. Ruas jalan yang dibeton ini cenderung rendah letaknya, sehingga membentuk cekungan yang di musim hujan berubah menjadi genangan air. Dan karena lebih sering terendam air, jalan menjadi cepat rusak & berlubang-lubang. Mengingat hal itu, memang jalan beton lah yang terbaik! Lebih awet & tahan air.

Setelah lebih dari tiga minggu bersabar, akhirnya pembetonan jalan itu selesai. Wah, terasa juga bedanya. Untuk mengkoreksi ketinggian jalan, sebelum dilakukan pembetonan, dilakukan penambahan tinggi badan jalan. Sehingga sekarang terasa lurus dan oleh karenanya lebih nyaman. Dan untuk mengatisipasi perendaman air, sepertinya kualitas betonnya juga ditingkatkan. Sekalipun saya amat awam dengan teknis pembetonan jalan, saya merasa betonnya cukup tebal & rapi pengerjaannya.

DEJA VU
Tapi kelegaan itu tidak berlangsung lama. Kira-kira seminggu (sekali lagi, SEMINGGU!) setelah pembetonan jalan rampung, jalan Kelapa Dua Wetan kembali macet & antri. Ada apa gerangan?
Rupanya, tengah dilakukan pembobolan jalan beton yang baru selesai dibangun! Pembobolan itu dilakukan secara melintang dari sisi timur jalan menyeberang ke sisi barat jalan. Dan karena namanya pembobolan, tentunya dilakukan dengan gaya suka hati alias berantakan!
Oh my God…. Kenapa?! Dan hanya selisih SEMINGGU!
Dari papan pengumuman yang diletakkan di badan jalan saya membaca pemberitahuan
MOHON MAAF PERJALANAN ANDA TERGANGGU. SEDANG ADA PERBAIKAN SALURAN – PDAM
Terus terang bukan hanya perjalanan saya yang terganggu, tapi juga hati nurani dan akal sehat saya! Apa yang sedang terjadi di Negara ini? Kenapa hal yang seperti ini sering atau bahkan selalu terjadi?

Berapa banyak pemborosan yang sudah dilakukan hanya karena tidak adanya koordinasi antar departemen? Atau memang hanya sampai di sini kualitas orang Indonesia?
Saya tidak tahu (dan tentu saja juga tidak ada yang bisa dan perlu memberitahu saya) di mana masalahnya dan siapa yang kurang berkoordinasi, tapi hati saya sangat hancur & tidak bisa mengerti, melihat bagaimana jalan beton yang bagus, bermanfaat, dan BARU SAJA DIBUAT ‘dihancurkan dengan semena-mena’!
Dan bukannya berpikir negatif atau prejudice, saya tidak yakin PDAM akan mengembalikan keadaan pembetonan persis seperti ketika selesai dibuat. Ya, karena sudah berapa kali kita mengalami atau menyaksikan hal yang memalukan seperti ini bukan?
Benar saja, bekas pembobolan itu tidak ditutup sama sekali kecuali tanah yang telah digali diurugkan kembali! SO PAINFUL!

KITA YANG MEMBAYAR!
Mengingat jelasnya fenomena jalan beton vs. saluran air di atas, sangat mudah bagi kita untuk menengarai pemborosan yang terjadi. Tapi saya tidak yakin bahwa pemborosan uang negara yang kasat mata tersebut akan ‘tertangkap’ sebagai suatu kesalahan, pelanggaran, atau kelalaian. Bisa saja ketika dilakukan pemeriksaan atau audit, terbukti bahwa semua telah sesuai peraturan, mengikuti prosedur & anggaran yang ditetapkan. Apalagi jika auditor hanya melihat dari sisi masing-masing Departemen, atau tidak melakukan kunjungan untuk melihat fisik pekerjaan.

Jika yang kasat mata saja sulit ‘tertangkap’, bagaimana dengan pemborosan yang tidak kasat mata? Atau lebih dalam lagi, bagaimana bisa menangkap pemborosan yang terjadi karena tidak efisiennya strategi atau rencana kerja suatu proyek? Bagaimana memprakirakan, memperhitungkan dan mencegah hilangnya potensi uang Negara karena ketidakefisienan?
Tragisnya, ketika pada suatu siang dalam perjalanan menuju Jakarta Pusat, saya membaca baliho mengenai pajak, yang bunyinya kira-kira
“Kota ini dibangun dengan Pajak Anda”
Makin teriris saja hati ini, terlebih jika mengingat jumlah pajak yang tertera di slip gaji yang rela tidak rela harus dipotong untuk dibayarkan ke Kas Negara. Juga ketika ingatan akan kehebohan di kantor sewaktu merespon Sunset Policy berkelebat di kepala saya. Sunset Policy, menurut saya benar-benar “bersahabat”. Maksudnya, saya menangkap kesan yang begitu lekat, dekat, dan tak terelakkan :
“Kukejar kau kemanapun kau pergi. Lebih baik menyerahkan diri sekarang daripada nanti tambah besar kesulitan & dendanya. Pokoknya hidupmu akan lebih susah! ”

Dan sampai saat ini, ketika musim hujan tiba, jalan beton itu masih merana. Luka melintang di badan jalan akibat pembobolan menciptakan lubang menganga dan menjadi wadah genangan air yang makin lama makin dalam sehingga mengganggu atau bahkan membahayakan pengguna jalan. Tepat di tengah tengah beton yang dijebol (yang berarti di tengah-tengah jalan!) dipasang papan penanda, agar orang berhati-hati). Dan pada bagian yang paling berlubang ditancapkan potongan pohon, sementara di bahu jalan, terdapat lubang menganga yang tertutup lembaran beton trotoar yang runtuh. Wah, makin ruwetlah tampangnya!
Setiap kali melewati Jl. Kelapa Dua Wetan, dan melihat pemandangan tersebut, hati saya terasa pedih dan malu….
Apa kata dunia?

ANGGUN


Secara tak sengaja, malam itu saya nonton BUKAN EMPAT MATA dengan bintang tamu ANGGUN (C Sasmi). Sepertinya Anggun ke Indonesia dalam rangka promosi albumnya + produk-produk yang dibintanginya, karena terlihat aktivitas berpromosi yang meningkat dari produk-produk tersebut.
Selama ini saya sebatas mengamati Anggun dengan perasaan kagum karena dia tambah cantik, seksi dan sukses membawa nama harum bangsa dalam menapak karier internasionalnya. Tapi sungguh, baru kali itulah saya melihat secara langsung (langsung di TV maksudnya) wawancara dengannya. Ternyata Anggun memiliki banyak facet kepribadian yang tidak sekedar menarik untuk disimak namun juga menjadi bahan refleksi dan perenungan diri.


ANGGUN SEBAGAI SEORANG PENYANYI
Kita semua melihat metamorfosis Anggun dari penyanyi remaja yang ceria dengan celana pendek, sepatu boot dan topi baretnya yang khas menjelma menjadi penyanyi wanita yang anggun, seksi & matang. Apapun gaya yang dipilihnya, Anggun selalu konsisten dalam mendampilkan citranya. Yang juga menjadi semakin kuat adalah kemampuan alah vokalnya. Sekalipun demikian, Anggun tetaplah orang yang rendah hati. Ketika di acara itu dihadirkan Candil ex Serieus sebagai “tamu misterius”nya, Anggun langsung berkomentar
“Saya mengagumi Mas Candil. Mas Candil ini saya anggap Mariah Carey-nya Indonesia karena kemampuan vokalnya dalam menjelajahi nada-nada tinggi!”
Wah, kalau saya sudah se level Anggun, apakah saya masih melihat Candil sebagai orang yang saya kagumi ya? Atau saya hanya melihat penyanyi-penyanyi top dunia sebagai idola saya?


ANGGUN SEBAGAI SEORANG PROFESIONAL
Kesan yang juga kuat menancap di benak saya setelah meyaksikan acara tersebut adalah : Anggun tahu apa yang akan diraihnya, apa yang harus dilakukannya, dan yang lebih penting lagi, apa yang tidak perlu dilakukannya.
Cerita bagaimana dia memutuskan meninggalkan Indonesia untuk karirnya, telah kita ketahui semua. Juga cerita bagaimana Anggun adalah seorang pribadi yang berprinsip & perfeksionis, yang menginginkan semua yang terbaik baik dari dirinya sendiri, maupun dari orang-orang yang bekerja di sekitar dia. Secara nalar saja, orang tanpa prinsip kuat & mengejar kualitas tinggi (perfeksionis) tidak akan mencapai hasil yang optimal. Terlebih untuk go international yang sangat ketat persaingannya
Tapi yang baru diketahui, paling tidak menurut saya, adalah bagaimana dia menolak tawaran untuk berperan sebagai Gadis Bond di film The World is Not Enough! Kenapa?
“Buat apa? Saya tidak dapat apa-apa di situ. Tampil sebentar, dicium sana dicium sini, …. lalu sudah! Apa manfaat ke depannya untuk saya? Tidak ada! Jadi buat apa saya harus melakukannya?”
Saya tidak membayangkan hal ini akan terjadi jika tawaran itu ditujukan ke penyanyi Indonesia lainnya. Apakah mereka juga akan berpikir seperti Anggun atau langsung menyambar penawaran itu “mumpung ada kesempatan”?


ANGGUN SEBAGAI ORANG INDONESIA
Sebenarnya banyak yang menyesalkan pergantian kewarganegaraan Anggun menjadi Warga Negara Perancis, dan mengkhawatirkan kikisnya keindonesiaan Anggun. Lalu apakah masih ada keindonesiaan yang tersisa dalam diri Anggun untuk diteruskan ke Kirana? Dengan cepat & yakin Anggun menjawab keraguan itu.
“Saya hanya berbicara dalam bahasa Indonesia dengan Kirana! Mbak, tolong ambilkan bola merah yang ada di balik pintu” katanya sambil mencontohkan
Jawaban itu, menurut saya benar-benar tak terduga dan sangat valid menegasi keraguan orang mengenai derajat keindonesiaan Anggun. Saya jadi teringat kuliah dosen Pengantar Ilmu Sosiologi Bp Prof Dr Soedjito yang menceritakan perdebatan tentang nasionalisme antara orang India & orang Thailand. Orang India meng-klaim mereka lebih nasionalis daripada orang Thailand, karena orang India mengenakan pakaian tradisional mereka sebagai pakaian sehari-hari. Sebaliknya orang Thailand mengatakan justru merekalah yang lebih nasionalis karena meskipun mereka mengenakan pakaian ‘internasional’, mereka sehari-hari berbahasa Thai!
Jadi, mana yang lebih nasionalis, tetap warganegara Indonesia tapi mengajarkan bahasa Perancis sebagai bahasa Ibu atau warganegara Perancis tapi berbahasa Indonesia?


ANGGUN SEBAGAI SEORANG PEREMPUAN & IBU
Beberapa kali Anggun menyebutkan bahwa dia sudah menunggu selama enam tahun sebelum akhirnya dia diberi kesempatan menjadi seorang Ibu dari Kirana Cipta Montana. Dan dia menyebutkan bagaimana segala sesuatunya menjadi berbeda hanya karena dia sudah menjadi seorang Ibu
“Semuanya seperti menjadi suatu keajaiban, bahkan untuk hal-hal yang sudah biasa saya lakukan. Pokoknya berbeda, semua menjadi luar biasa & lebih indah”
Dia juga bercerita bagaimana dia sekarang membatasi kegiatannya terutama yang di luar kota, sehingga tidak akan meninggalkan Kirana terlalu lama.
Melihat tingkat mobilitasnya sebagai wanita kosmopolitan, tentunya tekad itu memerlukan komitmen tinggi serta usaha yang luar biasa untuk mencapainya.
Jadi malu…, untuk saya yang tingkat mobilitasnya sebagian besar hanya sebatas Jakarta Selatan – Cimanggis, berapa jam sehari ya waktu yang tersedia untuk anak-anak?

Tapi selain hal-hal tersebut di atas, satu hal yang rasanya paling ‘menusuk’ saya adalah ketika Anggun membagi tips rahasia suksesnya. Menurut Anggun, sangat sederhana : Kalau punya mimpi, semustahil apapun itu, harus dikejar. Dan yang penting adalah
“MULAILAH UNTUK MELAKUKANNYA. Pokoknya, just do it. Gagal, tidak mengapa. Nanti bisa dicoba lagi! Yang penting kita sudah pernah memulai untuk mewujudkan niat, keinginan, cita-cita atau mimpi kita”
Kalimat itu bagaikan belati tajam yang menghujam dada saya . Baagaimana tidak? Banyak cita-cita, mimpi & keinginan saya belum terwujud, dan hampir semuanya karena sampai hari ini BELUM PERNAH SAYA MULAI untuk mencobanya! Bagaimana dengan Anda?

BUAT NGUPING JAKARTA

Mau dikirim ke Ngupingjakarta

BART SIMPSON

Di sebuah toko buku di Cibubur Junction, sudut kreativitas anak
Seorang anak berusia 3 tahun dengan bangga menunjukkan hasil karyanya mewarnai gambar BART SIMPSON kepada Ayahnya disaksikan kakak laki-lakinya (8 tahun)
Ayah : Wah…. Bagus sekali ya, gambar SPONGEBOBnya. Warnanya kuning, adik suka warna kuning ya?
Kakak : Idih Ayah… adik bukan mewarnai gambar SPONGEBOB lagee. Ini gambar JOHNNY BRAVO!
Adik : !@#$%^&*()+{}:"<>? (Pada ngomong apa siy?)


COGS
Di sebuah perusahaan dengan omset lebih dari Rp 500 milyar.
Finance (F) : Tolong konfirmasi bahwa angka ini adalah angka yang final dari Marketing
Marketing (M) : Loh, kan saya sudah bilang, bukan angka yang ini. Yang kemarin saya kirim tanggal 17, itu yang confirmed (agak kesel)
F : Loh kan saya juga sudah bilang, saya tidak bisa ambil angka versi tanggal 17 itu kecuali tidak ada perbedaan COGS dibandingkan versi ini! (Kesel banget)
M : Memang ada perbedaan COGS antara versi tanggal 17 dengan versi ini?
F : Sebentar….. ada, sedikit!
M : Berapa?
F : Rp 1 juta
M : Hah? Selisih Rp 1 juta jadi masalah? Tidak bisa dipakai?
F : Mmmmmm…. Bisa siy!
M : !@#$%^&*()+{}:”<>?.....


JAGORAWI

Di dalam mobil dalam perjalanan menuju sekolah. Seorang Ibu mengetes pengetahuan umum anaknya (8 tahun)
Ibu : Jabotabek singkatan apa?
Anak : Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi!
Ibu : Betul! Kalau Jagorawi?
Anak : Jakarta, Bogor,…..mmmm (ragu)… Betawi?


MATEMATIKA

Di dalam lift di sebuah gedung perkantoran di Jl. TB Simatupang
Seorang Ibu menceritakan percakapannya dengan anaknya yang tidak mau sekolah lagi
Ibu : Kenapa kamu tidak mau sekolah?
Anak : Ngapain? Gurunya aja bodoh
Ibu : Loh, koq bicara begitu?
Anak : Iyalah… orang apa-apa gak tau, apa-apa nanya. Matematika nanya, Bahasa Indonesia juga nanya
Ibu : Nanya bagaimana?
Anak : Iya, dia nanya ke aku, berapa 2 + 2! Dia juga nanya siapa nama teman yang duduk sebelahku! Kan dia harusnya tahu?!


PLN

Di suatu angkot, percakapan dua orang Ibu. Salah satunya baru pindah rumah ke daerah ‘elite’ di Cibubur
Ibu A : Wah, sekarang enak ya, tinggal di kompleks elite!
Ibu B : Alhamdulillah, tapi ternyata masalahnya tetep sama ya... seperti waktu tinggal di rumah lama.
Ibu A : Apaan?
Ibu B : Kalau musim hujan begini, listrik di rumah “nyala idup nyala idup” gitu…
(Kapan matinya?)


SOTO BETAWI
Suatu sore di sebuah perumahan di Cibubur. Percakapan seorang anak laki-laki (9 tahun) dengan ibunya mengenai menu makan siang di sekolah
Ibu : Tadi menunya apa? Soto Betawi ya ?
Anak : Huuuu…. Masih mending Soto Betawi! Tadi tuh soto daging tapi ada kentang & sayurannya terus pakai santan gitu…


SPION
Di suatu siaran acara Good Morning Hard Rockers, sedang membahas topik olahraga
Penyiar : Misalkan olah raga catur… setiap kali saya mindah satu SPION, saya akan…
(Di perempatan jalan ya?)


UANG KECIL
Percakapan antara seorang pekerja rumah tangga dengan petugas di loket pembayaran rekening PDAM di Cimanggis
PRT : Mbak, majikan saya tanya, kenapa bulan lalu saya bayar rekeningnya ke sini tanggal 20 tapi setelah dicek ke kantor PDAM baru dibayarkan tanggal 28? Kan jumlahnya besar, hampir satu juta. Uangnya kemana selama 8 hari?
Petugas : Oh iya, ….waktu itu belum ada uang kecil!
(Saya yang telmi, atau petugasnya yang sangat “canggih administrasi”?)

13 Februari 2009

VIDI ALDIANO VS. AFGAN




Lagu Nuansa Bening yang diciptakan oleh Keenan Nasution dinyanyikan kembali oleh pendatang baru Vidi Aldiano dan memuncaki tangga lagu terpopuler di beberapa stasiun radio untuk beberapa waktu. Saya pribadi sangat menyukainya. Menurut saya, Vidi berhasil membawakan lagu lawas itu dengan baik, membawa karakter yang kuat & menginterpretasikannya dengan kekinian yang begitu kental.

Vidi Aldiano Vs. Afgan
Sekalipun Vidi bukanlah orang pertama yang sukses mendaur ulang sebuah lagu, sebut saja Ello dengan “Pergi untuk Kembali”, Peter Pan dengan “Kisah Cintaku” atau bahkan juga penyanyi seangkatannya Derby Romero dengan “Gelora Asmara”. Namun membicarakan Vidi nampaknya tetap menarik, apalagi mengingat banyak orang menyebutnya sebagai Afgan ke-2.
Saya jadi teringat diskusi saya dengan mbak Vivid, Editor in Chief Majalah Remaja “Aneka Yess!”. Pada suatu kesempatan, beliau menceritakan bagaimana pengalaman mementaskan Afgan di saat Afgan belum terkenal.
Walah mbak... Saya waktu itu sampai pakai "TOA" teriak-teriak minta support ke penonton untuk berikan tepuk tangan ke Afgan. Waktu itu kan gaya culunnya belum dilihat orang! Eh... Sekarang malah jadi trade mark& trend setter!”

Terus terang, saya kagum pada mereka-mereka yang bekerja di media massa, terlebih yang berhubungan dengan remaja : mereka harus bekerja cepat, berlomba dengan waktu, pandai membaca situasi, dan juga harus cepat menentukan apa yang bakal jadi trend & disenengi remaja. Kalau tidak in ya bakal ditinggal remaja!
Dengan tolak pikir seperti itu, saya jadi tergelitik untuk menanyakan apa pendapat mbak Vivid, mengenai masa depan Vidi. Bukan meramal, tapi dengan pengalamannya mengamati & berhubungan dengan selebritas yang segudang, tentunya beliau bisa melihat benang merahnya


Bisa banget! Dia bisa jadi seperti Afgan atau bahkan lebih, tapi tentunya diperlukan juga dukungan media yang memadai!”

Lagunya yang daur ulang?

Yah, bisa jadi ada yang melihatnya kurang positif, tapi saya koq melihatnya justru itu bisa jadi nilai tambah buat dia. Siapa tau orang tua dari remaja-remaja ini ikut jadi penggemarnya!”

Vidi Aldiano Sebagai Suatu Merek/Brand
Sebagai orang yang setiap hari berkutat dengan masalah marketing, saya cenderung melihat Vidi sebagai suatu brand. Apakah Vidi memiliki ciri-ciri yang memadai untuk tumbuh menjadi suatu ‘brand’ yang besar? Bisakah Vidi menyamai atau bahkan melebihi Afgan?
Dengan matrix sederhana 4P&2P (Product, Price, Place, Promo & Positioning+Period) bisa kita bedah performance Vidi dan memprediksi masa depannya.

Product
Yang terutama ‘product’ di sini adalah kualitas dasar yang ditawarkan. Karena Vidi adalah penyanyi, maka kualitas dasar yang diperlukan tentunya adalah suara & pilihan lagu yang berkualitas. Memang, ada juga kisah sukses di mana penyanyi memiliki suara yang pas-pasan tapi karena lagunya cukup ’klik’ di telinga konsumen, albumnya jadi cukup laris. Tapi tentunya yang seperti ini akan menjadi kurang sustainable.
Dalam hal ini, sepertinya Vidi tak ada masalah. Kualitas suaranya bagus, pilihan lagunya juga unik, aransemennyapun cantik. Klop.
Termasuk dalam kategori ‘product’ ini adalah juga ”kemasan” yang menarik. Sekalipun mungkin tak se-manis Afgan, wajah Vidi cukup cute & bersahabat.

Yang tak kalah penting, saat ini orang menginginkan artis idolanya adalah orang-orang yang bersih, lurus & bisa dijadikana teladan. Memang ada juga yang mengunakan gossip sensasional untuk mendongkrak popularitas sesaat. Namun sepertinya banyak yang telah sadar bahwa kampanye negatif seperti ini justru akan membahayakan kelangsungan karir.
Sejauh ini tidak ada cerita miring dari Vidi, semoga memang demikian adanya dan tetap terjaga sampai nanti.

Price
Seperti hukum pasar sederhana, ”ada harga ada rupa”, penentuan ’harga’ yang tepat juga mempengaruhi kesuksesan seseorang. Untuk seorang Vidi, harga di sini tentunya bukan harga CD atau kasetnya. Tapi lebih ke tingkat profesionalisme & manajemennya : Penentuan harga yang tepat, dan kesiapan untuk menampilkan kualitas sesuai harga yang diberikan. Penting sekali buat seorang Vidi untuk dapat bersikap profesional. Datang tepat waktu, tampil prima... kalau bisa melebihi harapan penggemar/penonton!. Satu kesalahan yang juga sering dilakukan oleh para penyanyi (dan manajemennya) adalah bersikap tidak profesional dalam harga. Misalkan, sudah ada deal dengan harga tertentu, namun dibatalkan hanya karena ada penawaran lain dengan harga yang lebih menarik. Sesaat, nampaknya hal itu bisa mendongkrak harga penyanyi yang bersangkutan. Tapi sesungguhnya yang sedang terjadi adalah penyanyi itu meng-erosi harga (diri)nya sendiri.

Place
Sebagaimana umumnya suatu merek, Vidi juga pasti punya segmentasi pasar berdasarkan type konsumen dan type dia (suara, lagu) sendiri. Tampil di ajang musik bergengsi seperti Java Jazz bisa diimbangi dengan penampilan dengan tarif ”merakyat” misalkan di Pensi sekolah-sekolah, akan menghasilkan image penyanyi yang berkualitas sekaligus terjangkau dan bersahabat.

Promo
Seperti yang tadi telah dikatakan oleh Mbak Vivid, media merupakan support yang penting dalam membesarkan seorang penyanyi. Gunakan semua media yang ada untuk mengamplifikasi brand image : Above the Line (media cetak, elektronik & TV), Below the Line (kegiatan-kegiatan yang langsung berhubungan dengan konsumen/penggemar/penonton) ataupun juga On the Line (internet, sms, dan creative media lainnya).


Positioning + Period
Banyak yang menafsirkan positioning ini sebagai salah satu yang kaku dan sama terus menerus. Dengan alasan, takut orang akan mencapnya sebagai tidak memiliki positioning yang jelas, tidak konsisten atau bahkan tidak berkarakter. Positioning ini bersifat liquid, dan bergerak mengikuti arus jaman. Terlebih jika kita berbicara mengenai musik, hal yang tiak pernah terbebas dari dimensi ruang & waktu/jaman.
Segala sesuatu itu pasti ada masanya. Apa yang sangat disukai saat ini bisa menjadi yang menggelikan atau bahkan memuakkan di masa yang lain. Pasti ada pasang surut, apalagi penyanyi remaja yang jumlahnya saat ini sangat banyak! Tapi tidak berarti bahwa tidak ada cara untuk mengatasi penyakit ”hilang seiring waktu”
Salah satu contoh jelas mengenai hal ini adalah kecerdikan Jikustik dalam membaca selera pasar. Sadar bahwa lagu-lagunya yang ’melo’ punya banyak saingan, mereka meluncurkan album dengan irama disko yang upbeat, dan.... sukses! Beberapa orang bilang musiknya ’aneh’, tapi banyak orang bilang musiknya fresh, muda, sangat ’kini’ dan juga unik! Kalu Vidi sudah berhasil meng’kini’kan lagu Nuansa Bening, pasti dia juga bisa meng’kini’kan dirinya sendiri pada saatnya nanti!

Saya termasuk di antara orang-orang yang berkeyakinan bahwa Vidi nanti akan sehebat Afgan, atau bahkan bisa juga lebih! Tapi semua itu perlu usaha keras & strategi yang jitu dari diri Vidi & manajemennya. Bravo!