28 November 2008


CADEL

Haydar dianugerahi kecerdasan verbal di atas rata-rata. Sejak umur 1 tahun, Haydar sudah lancar berbicara. Dia sangat aktif bertanya, mengungkapkan pendapat, dan memiliki logika berpikir yang melampaui usianya. Seringkali kami orang dewasa dibuat terhenyak oleh pertanyaan-pertanyaan kritisnya yang tak mudah dijawab. Kami juga sering sungkan bila dia menanyakan atau menyatakan hal-hal sensitif ke orang lain. Orang yang tidak mengenalnya tak akan percaya kalau ucapan Haydar adalah murni hasil olah pikirnya sendiri, bukan rekayasa atau pesan sponsor orang tuanya!
Namun, selain anugerah tersebut, Haydar juga memiliki ‘kekurangan’. Dia belum bisa melafalkan huruf ‘R’ seperti teman seusianya. ‘R’nya tidak bergetar, dan cenderung lemah seperti ‘R’ dalam bahasa Inggris. Seorang keponakan bercanda menasehatinya,
“Makan sambal dong, biar gak cadel!”.
Diapun menurutinya! Lucunya, segera setelah setitik sambal di piringnya habis, dia langsung uji coba,
“Eeeerrrhhhh! Eeerrrhh! Ularhrh melingkarhrh di pagarhrh bundarh! Udah lumayan jelas kan ‘Rrhh’ku?”.
Teuteup….!

Mungkin karena keseringan cerita tentang Haydar lengkap dengan menirukan gaya cadelnya, tanpa terasa kami ‘ketularan’. Pernah kami berkenalan dengan seseorang, dan ketika orang tersebut menanyakan di mana kami tinggal, dengan cepat saya menjawab,
“Cibuburhrh”
Lain lagi dengan Teo, anak seorang teman. Dia cenderung melafalkan ‘R’ menjadi ‘L’. Seperti juga Haydar, Teo berusaha keras untuk bisa melafalkan huruf ‘R’ seperti seharusnya.
Berhasil! Masalah muncul, ketika dia secara spontan sering tidak bisa membedakan mana ‘L’ yang harus diubah ke ‘R’ dan mana yang harus tetap dilafalkan ‘L’. Alhasil sering jadi terbalik-balik atau malah kebablasan semua ‘L’ diubah menjadi ‘R’ : ‘telor’ menjadi ‘terol’, dan ‘hiu martil’ menjadi ‘hiu martir’!

Namun ternyata ada beberapa jenis kecadelan, dan tidak mengenal usia. Artinya, ada yang bisa sembuh dan ada juga yang tidak.
Ketika kami pindah ke rumah kami yang baru, suami memperkenalkan diri sebagai warga baru ke salah satu pengurus RT, seorang pensiunan instansi BUMN. Pulang dari rumah pengurus RT tersebut, suami menceritakan Pak RT yang cadel, tetapi jenis kecadelannya agak berbeda. Suami berusaha menjelaskan, tapi saya tidak juga mengerti.
“Kalau gak salah ‘D’nya menjadi ‘G’, dan ‘T’ menjadi ‘K’.”
Papar suami agak ragu, karena tidak bisa memberi contoh kecadelan tersebut. Wah, saya jadi penasaran!
Pucuk dicinta ulam tiba! Keesokan harinya kami bertemu beliau di sport center.
“Kemaring kemanga Pak?. Gikelpong-gelpong koq gak aga yang angkak!” (“Kemarin kemana Pak? Ditelpon-telpon koq gak ada yang angkat”.)
Sampai di rumah, kami ‘analisis’ mengapa bisa terjadi perubahan bunyi seperti itu. Kami bahkan mengucapkan ‘gikelpong’ dan ‘ditelpon’ secara berulang-ulang untuk mengetahui perbedaan “rasanya”. Ketemu! Perbedaannya ada pada gerakan lidah. Seharusnya, untuk melafalkan huruf ‘D’, ‘T’ dan ‘N’, lidah akan menyentuh langit-langit mulut bagian depan dan bagian dalam gigi seri atas. Tapi mungkin karena lidah Bapak pengurus RT tidak cukup panjang atau kurang lentur, maka bunyinya berubah menjadi ‘G’, ‘K’, dan ‘NG’.

Meski bermaksud untuk membuat lebih akrab, jangan pernah kita menirukan kecadelan seseorang sekalipun dia masih kanak-kanak. Mereka tak akan suka atau bahkan marah. Simak diskusi Indi dengan mamanya mengenai boks bayi untuk adiknya.
“Ma, ‘boz’ adik bayi kita letakkan di sini ya?!”.
“Boleh! Nanti kita cari ‘boz’ yang ukurannya sesuai”.
“Bukan ‘boz’ Ma. Tapi… ‘boz’!” Sungut Indi meralat mamanya.

Tidak ada komentar: