24 November 2008


MUKA BLOON DI POLRES DEPOK
Begitu sadar SIM A saya tidak berada di tempatnya, hati saya jadi was was, menyetirpun jadi ekstra hati-hati dan sudah pasti menghindari ‘masalah’, jangan sampai berurusan dengan Polantas. Tapi saya tidak juga tergerak untuk segera mengurusnya.

Mengapa Malas mengurus SIM?
Ada dua masalah : Pertama, saya belum sempat memfoto copy SIM tersebut. Artinya, saya harus mengurus dari awal, seperti membuat SIM baru. Sudah kebayang suasana jika harus berurusan dengan pihak otoritatif: Tidak ada kejelasan, penuh peraturan tapi semua berkesan menyulitkan, dsb. Hal itu juga menyangkut ke masalah kedua : Pengurusan SIM dilakukan di kantor Samsat di Kalideres, padahal rumah saya di Cimanggis. Kok jauh banget ya?!
Mengenai hal kedua itu, suami sempat meragukan. Menurutnya, bisa mengurus SIM di Depok. Tapi karena suami juga tidak 100% yakin, di kepala saya tetap di Kalideres nun jauh di sana…
Mencoba mencari informasi mengenai jasa pembuatan SIM. Wah, mahal! Rp 500,000! (Bahkan untuk expatriate mereka charge Rp 1 juta!)

Mendapat Jalan Keluar
Sampai akhirnya ada seorang teman yang memberi nasehat jitu
“Kalau kita tinggal di wilayah Depok, ya ngurus di Depok! Jangan pakai jasa-jasa gitu deh, mahal! Mending datang aja langsung ke sana, di sana pasti ada yang bantu. Pasang aja "muka bloon", nanti akan ada yang ngedeketin… Waktu itu gue alasannya karena waktu yang mepet, gak bakalan kelar satu hari. Oh ya, pilih yang pakai seragam ya, biar gak macem-macem!”
Akhirnya tanggal 8 November 2008 kemarin, saya ke Polres Depok : Ok, mari kita mulai aksi pasang „mu-blo“. Setelah sekian lama, loh, kok tidak ada yang menawarkan sesuatu atau bahkan mendekat?! Akhirnya pasrah dan tanya ke provost
„Oh, kesana mbak ke Ruko 32.... tes kesehatan dulu“ Jawab provost sambil menunjuk kompleks Ruko di seberang jalan.
Oh, mungkin di sana akan ada yang „bantu“ pikir saya.
Sampai di Ruko yang dimaksud, di lantai 1 ternyata hanya ada petugas pencatat & penerima biaya tes kesehatan. Biaya tes kesehatan Rp 15,000. Sewaktu ditanya mau bikin SIM jenis apa, secara spontan terpikir mau bikin SIM C juga. SIM C saya sudah lama expired & tidak pernah berniat untuk bikin baru karena tidak pernah naik motor. Tapi apa salahnya kalau sekarang punya SIM C? Kalau sewaktu-waktu diperlukan…. OK, deal, saya bayar Rp 30,000 untuk SIM A & SIM C.
Setelah membayar, saya diminta naik ke lantai 2 untuk diukur tensi darah, tes penglihatan (yang tidak diganti-ganti papan bacanya…. Jadi bagi yang agak rabun harap diingat-ingat pemohon SIM sebelumnya tadi baca huruf apa saja!), tes buta warna, dan ketemu dokter (yang hanya mengatakan “Ini untuk 2 SIM ya?” sambil melingkari bagian-bagian yang menyatakan saya sehat).
Selesai Tes Kesehatan, saya masih pasang "mu-blo" & mulai mencari…. Mana nih, Pak Polisi yang mau bantu? Tanya saya sambil bergegas kembali ke kantor kepolisian, karena ada gejala, banyak sekali yang mau mengurus SIM. Benar saja! Begitu sampai di gedung Polres....suasananya sangat ramai oleh orang yang hendak mengurus SIM. Udara yang panas akibat cuaca mendung makin menambah gelisah. Saya berusaha mencari informasi bagaimana cara mengurus pembuatan SIM baru, tapi sekaligus juga pasang strategi bagaimana caranya supaya bisa cepat selesai. Di dinding terpasang bagan pengurusan SIM yang mengharuskan saya ke bagian pendaftaran, tapi tadi sempat dengar saran petugas, untuk langsung ke loket Bank. Begitu sampai giliran saya untuk membayar biaya pembuatan SIM (baru Rp 75,000 & perpanjangan Rp 60,000), petugas meminta saya untuk memfotocopy KTP terlebih dahulu dan menyarankan saya untuk langsung ke loket asuransi (yang seharusnya tidak wajib) yang terletak di samping loket bank, sambil memberikan formulir pendaftaran. Oh ya, biaya asuransi Rp 15,000

Mengikuti Prosedur
Di loket asuransi, tertempel pengumuman „Di sini Menyediakan Ballpen & Pensil“. Untuk apa ya?! „Untuk ujian teori Bu!“ Kata Ibu yang antri di depan saya
Oooo.... ujian teori! Saya melirik jam di dinding... 10.30. Saya mulai kehilangan harapan akan datangnya „petugas berseragam penolong orang-orang dengan muka bloon“. Segera saya lengkapi formulir pendaftaran & antri untuk menyerahkannya di loket pendaftaran yang ditulis buka hingga jam 12.00. Pada waktu menerima formulir pendaftaran, petugas pencatat menanyakan golongan darah sambil menyarankan untuk menunggu giliran untuk mengikuti ujian teori. Ruang ujian teori hanya muat 33 orang dan sekali ujian berlangsung selama 30 menit. Perkiraan saya, harus menunggu paling lama satu jam.
Saya jadi was-was, setelah menyadari waktu telah 2 jam berlalu…. Jangan-jangan saya tidak bisa ikut ujian teori hari ini? Tapi petugas meyakinkan, bahwa kalau berkas pendaftaran sudah masuk, pasti akan ikut ujian hari ini, jam berapapun! Syukurlah!
Sambil menunggu, polis asuransi saya ternyata sudah jadi. Jadi, kalaupun gagal ujian, artinya tidak punya SIM, saya punya asuransinya!
Jam 12.45. Akhirnya kesempatan ujian tertulis itu datang juga! Ruang ujian teori itu memang tidak terlalu besar, berisi hanya kursi-kursi kayu yang sudah agak pudar catnya dengan bagian yang agak lebar di bagian tangan kanan untuk menulis (bagaimana kalau peserta ujian ada yang kidal ya?). Sementara di bagian belakang, di sebelah pintu yang menghubungkan dengan loket pendaftaran, terdapat 2 meja untuk petugas memeriksa hasil ujian. Meskipun demikian, ruangan itu ber-AC, jadi yah… lumayan ngadem, setelah sekian lama berada di luar ruangan yang penuh orang, panas & pengap tak berangin.
Setiap peserta diberi lembar soal yang berbeda, tergantung jenis SIM yang diinginkan, dan masing-masing memiliki kode. Petugas di ruang ujian teori cukup ramah dan menjelaskan tata cara ujian dengan lugas, dan juga menjelaskan bahwa ada toleransi bagi peserta untuk lulus ujian teori dengan maksimal salah 12 dari 30 soal yang ada di lembaran soal. Soal berupa pertanyaan dengan 3 pilihan jawaban. Terus terang, menurut saya pribadi soal-nya agak membingungkan…. kata-katanya tidak bisa langsung dicerna dan pilihan jawaban yang tersedia agak mirip-mirip.
Kurang dari 30 menit saya sudah menyelesaikan soal ujian. Saya berusaha untuk mengulang, siapa tau ada yang salah & bisa diperbaiki. Tapi karena menurut saya pilihannya membingungkan…. sama saja, tidak ada ada yang bisa diperbaiki. Sehingga ketika petugas mengumumkan, boleh dikumpulkan jika sudah selesai, saya bergegas menyerahkan kertas ujian saya saya.
Petugas langsung mencocokkan jawaban di kertas ujian dengan ‘kunci’ jawaban, sesuai dengan kode soal. O…. pantas waktu ujian bisa jadi lama karena langsung di-cek!
“Mbak, salah 12…. Jadi mBak masih memenuhi persyaratan minimal lulus! Mbak silahkan ke atas untuk uji praktek!”

Ujian Praktek
Ujian praktek? Mana mungkin orang sebegitu banyak dites satu persatu? Ternyata…
“Satu satu mBak! Mbak kan ambil dua SIM, jadi diuji dua kali, mobil & motor!” Jawab salah seorang petugas yang kebetulan melintas di lapangan uji praktek.
O-oooo….
Saya juga sempat bertanya, sampai jam berapa ujian praktek ini? (Kembali saya takut, jangan-jangan setelah menunggu lama saya diminta datang lagi lain hari karena sudah tutup!).
“Yang sudah menunggu/terdaftar pasti akan diuji bahkan jika perlu sampai malam sekalipun!”
Anehnya, saya merasa sangat tenang. Apa karena dari awal – gara-gara mengharapkan petugas penolong - saya sudah punya mindset “this will gonna be an easy one” ya?
Ujian untuk SIM A berupa menyetir berbelok di tanjakan, berhenti, melanjutkan hingga ke ujung tanjakan, dan kembali ke tempat dengan mundur. Syarat kelulusan adalah, pada waktu berjalan lagi setelah berhenti tidak boleh mundur/melorot, mesin tidak menggerung, atau mati. Kemudian pada waktu mundur kembali ke tempat tidak boleh menjatuhkan balok penanda batas, dan tidak boleh posisi parkir miring.
Untuk SIM C, ujiannya berupa tes slalom : tidak boleh menginjakkan kaki ke tanah, & tidak boleh menjatuhkan balok penanda. Saya sempat berpikir, sebenarnya yang perlu di-test pada calon pengendara motor di Jakarta ini adalah test cara mengerem. Di jalan rasa-rasanya semua pengendara motor punya prinsip “tidak boleh berhenti/mengerem”…. Dan banyak sekali kejadian celaka yang diakibatkan pengendara motor ‘tidak mau nge-rem’ alias nyelonong, termasuk menyalip di tikungan jalan!
Jam 14.15. Nama saya dipanggil. Alhamdulillah, saya bisa menyelesaikan dengan baik dan dinyatakan lulus uji praktek SIM A.
Lalu bagaimana dengan ujian motor? Petugas tadi juga memberikan tips
“Kuncinya ada di start mbak…. Ambilnya dari jauh. Kalau terlalu dekat pasti nyenggol balok”. Tapi sebelumnya ada Bapak-bapak yang berjualan minuman uyang ikut menyaksikan jalannya ujian praktek sempat bertanya
“Udah biasa naik motor, mBak?”
“Udah lama gak pernah naik motor Pak!”
“Wah, pasti gak lulus!” Katanya meyakinkan. Saya hanya tersenyum kecut, tapi berusaha meyakinkan diri dengan mengandalkan nasehat petugas tadi. Tapi ternyata si penjual minuman memang lebih jeli! Saya sudah mengambil ancang-ancang dari jauh, memang tidak ada balok yang jatuh, tapi saya gagal mencegah kaki saya menyentuh tanah setelah garis tanda start! Petugas penguji lalu memberikan kertas kecil sebagai tanda untuk mengukuti ujian ulang 2 minggu mendatang!
Dan saya ternyata peserta ujian praktek terakhir hari itu.

Proses Terakhir
Kembali saya antri untuk difoto, cap jempol elektronik, dan pengecekan data. Tapi yang terakhir ini tidak terlalu lama & antrinya pun di ruangan ber AC. Akhirnya SIM A baru pun jadi! Jam menunjukkan pukul 14.30.
Jadi total biaya pembuatan SIM baru adalah :
Tes Kesehatan Rp 15,000
Administrasi SIM Rp 75,000
Asuransi (tdk wajib) Rp 15,000
Ballpen & Pensil (optional) Rp 5,000
Total Rp 110,000+waktu pengurusan sekitar 5 jam (tergantung jumlah peserta)

Ternyata ‘fun’ juga bikin SIM sesuai prosedur…. Dan tentu saja jauh lebih ekonomis daripada minta tolong ke agency! Dan satu hal yang saya rasakan, saya sekarang lebih pede ketika menyetir. Memang, saya tidak jadi lebih lihai menyetir, tapi menyadari bahwa saya (perempuan) memenuhi standar untuk mengendarai mobil di jalan raya, sementara banyak laki-laki yang gagal di ujian – meskipun mungkin juga karena tegang atau baru saja belajar menyetir – membuat saya tidak lagi takut dicerca secara sexist

Usul & Saran
Saya rasanya perlu mengucapkan selamat kepada tim kepolisian resor Depok yang berhasil menegakkan peraturan secara konsisten. Di sepanjang lingkungan area kepolisian, banyak sekali spanduk-spanduk yang mengingatkan untuk ‘kembali ke jalan yang benar’ seperti (kata-kata persisnya saya lupa) :
“Penerima & pemberi suap akan sama-sama dikenakan hukuman” atau “Kami memang tidak sempurna, tapi bantulah kami untuk menjadi lebih baik...”
Tapi ada usulan juga....
1. Buat keterangan yang jelas mengenai prosedur pembuatan SIM (termasuk persyaratan/dokumen yang dibutuhkan di setiap point/loket)
2. Buat keterangan jam kerja yang jelas (termasuk misalkan khusus hari Sabtu loket bank tutup jam 11.00) dan displin dalam mengikuti jam kerja à jangan tutup sebelum waktunya
3. Sediakan fasilitas yang mendukung
a. Mobil & motor uji dalam kondisi baik/wajar sesuai kondisi kendaraan pada umumnya
b. Memang sudah tersedia kursi untuk menunggu, namun jumlahnya kurang
c. Ibu-ibu Bhayangkari bisa memanfaatkan tempat yang ada untuk pelayanan terpadu demi kenyamanan, misal dengan menyediakan kantin yang menyediakan makanan/minuman, alat tulis, foto copy, majalah, bahkan kalau ada buku-buku atau poster tentang peraturan lalu lintas (untuk dibaca di tempat). Mungkin kalau orang sudah sempat membaca terlebih dahulu, orang akan lebih tahu dan lulus dengan skor lebih baik (& tidak main tebak seperti saya). Ini juga menjadi media untuk meningkatkan kesadaran berlalulintas di kalangan masyarakat.

Tidak ada komentar: