02 Februari 2009

BU FAJAR VS. MICHELLE PFEIFFER


Saya pertama kali berjumpa perempuan berprofesi tukang pijat berumur 47 tahun dengan perawakan cenderung bervolume itu sekitar tiga tahun yang lalu. Waktu itu saya tergiur untuk mencoba karena promosi tetangga
“Pokoknya dijamin deh….. otot-ototmu yang melintir bakal pulih! Pas dipijitnya sih sakit, tapi setelahnya pasti kamu ketagihan! Gak seperti tukang pijit lain, pas dipijitnya enak karena cuma di”cemek-cemek”. Tapi setelahnya kita gak dapat manfaat atau malah salah urat!”
Dan memang benar apa kata tetangga tersebut. Selama lebih kurang dua jam dipijat, saya ‘disiksa’ habis oleh bu Fajar!
“Wah, kaku semua ya Bu?! Gak pernah pijat ya?! Nanti kalau yang berikutnya, gak akan sesakit sekarang!”
Saya diam saja seolah mengiyakan. Padahal sebenarnya saya agak malu sekaligus kesal juga, berarti selama ini memang saya tidak dipijat, tapi cuma dicemek-cemek!
Cara pijat Bu Fajar begitu teliti, rasanya tak ada bagian tubuh saya yang luput dari pijatannya. Tidak heran kalau waktu pijat yang dibutuhkan sekitar dua jam! Pertama kali dipijat, saya menghabiskan waktu dua setengah jam. Mungkin karena Bu Fajar menemukan banyak “otot melintir” sehingga perlu perhatian ekstra dan pijatan yang lebih lama. Padahal, biasanya di bagian yang tidak beres itu pijatan terasa lebih sakit! Terhadap tukang pijat lain, saya punya strategi supaya bagian yang tidak beres itu tidak terlalu lama dipijat karena tidak mau menahan sakit terlalu lama. Saya cenderung ‘mengelabui’ tukang pijat dengan pura-pura tidak merespon : tidak mengaduh, tidak menahan/menolak – karena otot akan terasa menegang. Sekali merespon, tukang pijat justru akan memijat bagian tersebut lebih lama!
Tapi strategi itu tidak berlaku untuk bu Fajar! Dia tahu bagian mana yang perlu lebih lama dipijat dan bagian mana yang tidak, tanpa menunggu respon yang dipijat. Dan herannya, bu Fajar bisa menemukan banyak bagian yang “sakit”. Jadi, saya putuskan untuk menyerah : setiap kali rasa sakit itu tidak tertahankan, saya menggeliat sambil mengaduh atau malah minta ‘break’!
Seiring berjalannya waktu, saya makin mengenal bu Fajar. Banyak hal baru yang saya ketahui tentang Bu Fajar, termasuk soal namanya. Karena ternyata Fajar adalah nama anaknya. Jadi selama ini saya memanggilnya dengan “iBUnya FAJAR”. Nama asli bu Fajar sendiri saya belum tahu. Bu Fajar punya tiga anak laki-laki Wahyu, Dwi, dan si bungsu Fajar. Anak pertama, lulusan STM, baru punya anak dan mencari nafkah dengan membuka warung rokok sambil menjadi ….tukang pijat! Anak yang kedua, Dwi, juga sudah lulus STM dan bekerja sebagai tenaga honorer di kantor BUMN. Sedangkan si bungsu Fajar masih kelas 1 STM. Bapaknya? Sebenarnya tidak memiliki profesi yang tetap. Pernah berjualan es, pernah juga menjadi sopir, tapi sering juga tidak bekerja sama sekali. Bisa dikatakan, bu Fajarlah tulang punggung keluarganya. Hebatnya, tak pernah sekalipun saya mendengar bu Fajar mengeluhkan hal itu. Justru sebaliknya, seringkali dia mengungkapkan bagaimana posisi & dinamika hubungannya dengan suami sangat mempengaruhi penghasilannya sebagai tukang pijat.
“Saya percaya betul Bu, kalau Allah yang mengatur rejeki masing-masing orang. Dan, sejelek apapun suami kita, kita harus tetap hormati!”
Dia menceritakan bagaimana dia pernah ‘berencana’ untuk menabung : uang hasil pijat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan seharĂ­-hari, dan penghasilan suami ditabung untuk membeli tanah atau uang muka rumah. Tapi ternyata sepanjang yang dia ingat, ketika suaminya bekerja, panggilan pijat tiba-tiba meredup. Dan ketika suaminya menganggur, panggilan pijat kembali ramai.
“Ya berarti belum rejeki saya ya Bu, bisa punya rumah sendiri?!” Katanya santai
Yang juga menarik, bu Fajar pernah bercerita, bagaimana dia pernah ’mati nafkah’ karena mendiamkan suaminya yang menurut dia menjengkelkan tingkah lakunya. Selama tidak berkomunikasi dengan suaminya, tidak ada satupun panggilan pijat yang dia terima! Dan begitu dia minta maaf & kembali berkomunikasi dengan suaminya, keesokan harinya dia langsung mendapat panggilan pijat! Bahkan lebih dari 3 orang! Wah, saya jadi malu hati…. Seringkali saya protes, marah-marah, atau bahkan underestimate suami, dengan berlindung di balik jargon “kesetaraan gender” : kan sama-sama cari nafkah untuk keluarga?!
Bu Fajar berasal dari daerah Banjarnegara, sehingga saya terkadang tidak bisa menangkap 100% perkataannya. Selain karena sering menggunakan istilah-istilah bahasa Jawa yang tidak saya pahami - sekalipun saya lahir & besar di Yogyakarta – juga karena dialeknya yang unik “memperumit” arti kata-katanya (Misalkan, salah satu yang bisa saya ingat, dia menyebut ”nasi uduk” dengan ”sega utuk”). Tapi sepertinya bisa saya pahami pandangan hidupnya yang selalu positif. Mukanya juga berseri-seri karena sering tertawa, termasuk mentertawakan dirinya sendiri….
Ketika menyadari bentuk tubuh saya tidak pernah berubah bahkan ketika hamil, atau menyusui, dia memuji dan berkomentar
“Kalau saya ya begini ini bu, setelah KB. Yach, saya pilih gemuk aja deh, daripada keluar anak terus…. Nanti pusing kasih makannya! Hehehe…”
Saya PILIH gemuk...!
Kata-kata itu mengingatkan saya pada film “Dangerous Minds” yang dibintangi Michelle Pfeiffer. Di film ini Pfeiffer berperan sebagai Lou Anne Johnson guru ’magang’ yang menggunakan metode inkonvensional hingga berhasil mengubah kehidupan murid-muridnya. Satu pesan moral yang kuat menancap di benak saya adalah bahwa menjalani hidup ini seperti menentukan sebuah pilihan. Ketika menghadapi muridnya yang mengeluh mengenai tidak adanya pilihan untuk bisa bersekolah di tempat yang lebih layak, bu guru Johnson justru menantang dengan membeberkan bahwa sebenarnya ada pilihan lain : Tidak usah bersekolah, atau berbisnis narkoba. Tentu saja dengan segala konsekuensi-nya atau memilih bersekolah di sini dan berkembang untuk memperbaiki hidupnya.
Ternyata sikap aktif (memilih) itu sudah ada di benak sederhana bu Fajar. Saya jadi seperti diingatkan, karena terus terang seringkali saya merasa diri saya bukan sebagai subyek yang aktif menentukan/memilih tindakan-tindakan dalam hidup saya. Coba saja, bila kita terjebak dalam kemacetan, apakah kita cenderung berkata ”Tidak ada pilihan! Semua jalan pasti macet di jam-jam padat begini” atau ”Inilah konsekuensi yang saya terima karena saya memilih berangkat lebih siang supaya bisa bermain dengan si kecil lebih lama”?
Sejak menonton film Dangerous Mind (1995, berarti 14 tahun yang lalu!), saya memiliki kesadaran bahwa selalu ada pilihan dalam hidup ini. Tapi seiring waktu, kesadaran itu menipis, dan berganti dengan sikap apatis dalam menghadapi persoalan hidup. Percakapan dengan bu Fajar menyentak saya, untuk kembali menggali kesadaran tersebut.
Namun bu Fajar tidak hanya menyentak kesadaran saya kali itu saja. Terakhir, kira-kira 3 bulan yang lalu, kembali saya ”disentil”nya. Ceritanya, karena kekurangan SDM, saya terpaksa kerja ”marathon” di kantor. Setiap hari pulang larut malam, melanjutkan bekerja di rumah, dan bahkan terkadang harus masuk kantor di akhir pekan. Hal ini berlangsung kurang lebih selama 3 bulan, hingga saya merasa seluruh badan pegal, capek, dan lesu. Melihat saya seperti lampu kurang minyak, suami mengusulkan untuk pijat ”Mrs. Sunrise” – demikian suami saya menjulukinya. Wah, boleh juga!
Pada waktu memijat, karena lama tidak pijat, bu Fajar kembali berkomentar

”Wah, kaku bener nih Bu. Berapa lama ya, Ibu gak pijat?”
”Tiga bulan kali ya?! Aduh Bu, saya kecapekan! Wah, bener-bener deh, kerjaan koq tidak ada habis-habismya!”
keluh saya. Di luar dugaan, bu Fajar menimpal
“Bu, alhamdulillah… Ibu kecapekan karena pekerjaan-nya tidak habis-habis. Daripada kecapekan karena mencari pekerjaan? Kalau pekerjaan habis kan artinya PHK kan?!”
Astaghfirullah,…! Perasaan saya cambur aduk : Ya malu, ya minta ampun kepada Allah atas ketakaburan saya, ya bersyukur karena saya masih diberi amanah pekerjaan & nafkah …. Sampai saat ini, saya selalu ‘menunggu-nunggu’ saat bertemu dengan bu Fajar : Pencerahan apa lagi yang akan saya dapat darinya ya?!

Tidak ada komentar: