11 Januari 2011

CARA MENINGKATKAN SALDO TABUNGAN



Tadi malam, si Embak, yang baru kira-kira tiga bulan kerja di rumah, minta tolong saya untuk menyetorkan uang ke rekening tabungannya. Saya menyanggupinya. Dan pagi ini, si Embak menyerahkan uang sebesar Rp 2,700,000! Saya pura-pura biasa saja ketika menerima uang itu darinya. Tapi sebenarnya dalam hati, saya terkejut sekaligus bangga! Wah, …. Banyak juga uang tabungannya!

Kalau dihitung-hitung, selama tiga bulan dua minggu bekerja di rumah saya, si Embak menerima gaji (termasuk uang cuti & uang seragam) sekitar Rp 4,200,000. Di bulan pertama kerja, dia menitip pembayaran “biaya pendidikan” ke Yayasan Penyalur sebesar Rp 400,000. Berarti, tinggal Rp 3,800,000. Dengan demikian, selama ini dia hanya membelanjakan uangnya sebesar Rp 900,000 atau sekitar 21% dari penghasilannya. Dengan lain kata, si Embak menabung hampir sebesar 65% dari penghasilannya!

Memang, dia tidak perlu belanja untuk konsumsi/makanan karena sudah tersedia. Tapi saya tidak secara khusus membelikan perlengkapannya sehari-hari seperti sabun, shampoo, pasta gigi dsb.

Saya jadi merefleksikan hal itu kepada diri saya sendiri, berapa persen ya dari penghasilanku yang bisa “diselamatkan” untuk ditabung? Dan ketika saya men-share kisah si Embak di status akun facebook saya, banyak respon yang diterima yang pada intinya tidak bisa sehebat si Embak, dengan berbagai alasan.

Banyak sekali orang yang tidak bisa menabung (termasuk saya). Dan banyak juga tingkatannya, dari yang tabungannya tidak juga meningkat, tidak bisa selalu menabung (termasuk yg menabung di awal bulan, tapi ‘diambil’ lagi di akhir bulan) ada juga yang tidak bisa menabung sama sekali…

Menambah Penghasilan vs. Mengurangi Pengeluaran
Saya teringat, secara “teoretik” paling tidak ada dua cara untuk meningkatkan saldo tabungan. Meningkatkan di sini yang dimaksud adalah terus menambah jumlah yang masuk ke dalam akun tabungan, bukan dalam arti menumbuhkan tabungan melalui pilihan investasi (passive income?). Cara yang pertama adalah dengan menambah pemasukan agar bisa menabung lebih banyak. Strateginya simple, tapi pelaksanaannya berat, karena tidak gampang untuk mencari tambahan penghasilan.

Meskipun ada juga penasehat keuangan yang memaparkan bagaimana gampangnya mencari penghasilan tambahan secara gampang yakni dengan memanfaatkan apa yang ada di sekitar kita menjadi aset aktif. Bisa menjual atau menyewakannya.

Cara yang kedua, ya kebalikannya… kalau tidak bisa menambah pemasukan, ya harus mengurangi pengeluaran! Ini juga sepertinya gampang di teori tapi susah di implementasi! Tapi saya yakin, lebih manageable karena hal ini berarti mengelola secara lebih baik apa yang sudah ada. Tapi bagaimana?

Pilahkan Pengeluaran Berdasarkan Tingkatan
Hampir semua penasehat keuangan akan memberikan nasehat yang kurang lebih sama. Cek dan pertimbangkan kembali sebelum anda melakukan suatu pengeluaran, apakah ini sebuah kewajiban, kebutuhan atau keinginan?


Kewajiban. Ini adalah harga mati, pengeluaran yang memang harus dilakukan. Jika tidak, akan ada implikasi yang merugikan. Termasuk di dalam kategori ini adalah kewajiban/hutang termasuk KPR, cicilan mobil dsb

Kebutuhan. Masih bisa dikutak-katik, tapi pada intinya pengeluaran yang tetap harus dilakukan. Jika tidak dilakukan, akan mengakibatkan berkurangnya kualitas dan kenyamanan hidup. Termasuk dalam kategori ini adalah pembayaran uang sekolah, pembayaran rekening listrik, air, telepon dsb

Keinginan. Sangat bisa dikutak-katik, atau bahkan jika dihilangkan, implikasi yang akan dirasakan sangat minimal. Termasuk dalam hal ini adalah pembelian barang tersier atau kegiatan yang kurang produktif.
Namun terkadang, agak susah juga menentukan mana yang kebutuhan dan mana yang keinginan. Mana yang harus dikeluarkan dan mana yang bisa ditunda atau dikurangi.


Dari situs ehow didapat trik untuk mengidentifikasi pengeluaran yang bisa ditunda, dikurangi atau dihilangkan.
Yang pertama-tama, kita harus mencatat seluruh pengeluaran kita dan mengelompokkannya ke dalam pos-pos pengeluaran. Dari pengelompokan itu terdapat paling tidak terdapat tiga pos “pemborosan”. Artinya, pos yang cenderung mengakomodasi keinginan daripada kebutuhan dan bisa dilakukan penghematan : Transportasi, Makanan dan Hiburan.

Transportasi
Ada banyak penghematan yang bisa dilakukan :
Perubahan moda transportasi (dari mobil pribadi ke kendaraan umum, dari sepeda motor ke sepeda kayuh, dsb)
Trik untuk efisiensi BBM (berangkat lebih pagi untuk menghindari macet, mengganti SUV ke city car, disiplin melakukan perawatan agar performa kendaraan yang kita pakai selalu optimal, dsb)
Efisiensi rute dan waktu pemakaian (bisa share/ngompreng atau harus pergi sendiri? Jalan tol atau arteri? Parkir di mana & berapa lama?)


Makanan
Dari pandangan saya pribadi, pos ini merupakan lahan subur untuk pemborosan. Artinya, banyak sekali hal yang bisa dilakukan untuk penghematan secara nyaman.

Pertama-tama adalah membawa bekal makan siang ke kantor/sekolah. Selain kita bisa memastikan keamanan, higienitas & kandungan gizinya, membawa bekal jelas-jelas memberikan banyak penghematan. Sekali makan, paling tidak kita menghabiskan Rp 10,000 – Rp 15,000/orang. Artinya, sebulan bisa menghemat hingga Rp 375,000/orang. Ini tidak termasuk penghematan karena kita tidak membeli “kemewahan” yang menemani makan siang di warung/restoran seperti jus, es campur, atau minuman kemasan. Bayangkan jika dalam satu rumah, ada tiga orang yang bisa membawa bekal makan siang ke tempat kerja/sekolah!

Kedua, sesedikit mungkin jajan di luar. Saat ini, banyak sekali terdapat resep-resep masakan yang tersedia secara gratis di internet atau di televisi. Tinggal kita pilih mana yang paling sesuai dengan taste & skill kita. Rasanya, hampir semua orang sekarang bisa memasak, bahkan meniru resep a la resto/café. Jadikan kegiatan memasak di akhir pekan sebagai kegiatan rekreasi keluarga, hidangkan menu a la resto untuk selingan seru.

Ketiga, jeli memilih tempat dan mengatur waktu belanja bahan pangan. Sebelumnya, untuk kepraktisan (atau kemalasan?) saya belanja mingguan ke supermarket/hypermarket dan membeli bahan segar & sayuran di tukang sayur. Setelah berdiskusi dengan seluruh anggota keluarga, akhirnya kami memutuskan melakukan penghematan sebagai berikut :
1. Mengurangi frekuensi belanja ke supermarket menjadi dua minggu sekali. Ini akan sangat menghemat, karena meskipun kita belanja berdasarkan catatan, ada saja barang yang tidak termasuk dalam catatan yang terbeli
2. Makan di rumah sebelum belanja. Perut yang kenyang akan mengurangi nafsu untuk membeli barang/makanan yang sebenarnya tidak kita perlukan
3. Membagi tempat belanja sesuai “kelebihan” masing-masing. Misal, membeli non food & bahan makanan kering/dalam kemasan di supermarket/hypermarket karena biasanya di sini produsen melakukan program promosi. Membeli sayuran segar & bahan lauk di pasar. Harganya jauh jauh!

Hiburan
Nah, yang ini nih…. Seru, karena paling banyak pertentangan bathin terjadi ketika pertanyaan “Apakah ini benar-benar saya perlukan?” diajukan. Banyak teman yang mengatakan bahwa saat ini tidak mencadangkan biaya hiburan secara khusus dengan alasan “Untuk menutup kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup. Bagaimana mau mencadangkan budget hiburan secara khusus?!”
Padahal, hiburan adalah sesuatu yang kita butuhkan, termasuk untuk me-recharge energi kita dan mempertahankan keseimbangan 7 pilar utama kehidupan kita (lihat posting saya mengenai “Lima Kesalahan Mendasar dalam Manajemen Waktu). Dengan tidak mencadangkan anggaran secara khusus, padahal kita memerlukannya, justru akan memicu pengeluaran tak terencana yang bikin kantong bolong.


Ligwina Hananto dari QM Consultant berkali-kali menegaskan perlunya mempunyai rekening khusus untuk menampung dana “hura-hura”. Hal ini sangat membantu disiplin penabung : tetapkan tujuan (apa yang akan dibeli/dilakukan), berapa biayanya, kapan akan dilakukan, dan berapa banyak serta berapa sering kita harus menyisihkan budget untuk mengisi rekening tersebut.

Namun sering juga terjadi adalah kita kebobolan dalam menghibur diri karena mengatakan pada diri kita, betapa kecilnya pengeluaran yang tak terduga ini dibandingkan dengan alasan yang sepertinya valid :
1. Menyewa atau membeli CD/DVD banyak-banyak dengan alasan lebih hemat (beli 10 gratis 1, jauh lebih murah daripada nonton di bioskop), tapi akhirnya menyadari kita membeli koleksi yang jelek. Atau juga, tetap nonton ke bioskop, karena “rasanya beda laa dengan nonton DVD di rumah!”
2. Memakai blackberry dengan alasan lebih hemat daripada sms-an, padahal tidak semua orang yang kita hubungi memilikinya. Jadi, BB jalan, sms tetap (atau malah lebih) kenceng
3. Menelepon lama untuk ngobrol, dengan alasan lebih murah dan lebih mudah daripada jika harus silaturahmi secara langsung. Padahal, alasan utama untuk tidak bersilaturahmi secara langsung bukan karena mahal atau jauh jaraknya, tapi lebih karena “jauh hatinya”. Apalagi jika itu masih dalam hitungan dalam kota. Dan biasanya, yang bisa diajak ngobrol lama di telepon adalah yang “dekat di hati” yang biasanya juga dikunjungi (silaturahmi langsung).
4. Membeli sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan dengan alasan “menghadiahi diri sendiri”, “sudah lama dicari”, “mumpung koleksinya lengkap”, “mumpung saya sampai sini”, “barangnya unik”, “mumpung diskon besar - kalau harga biasa tak terbeli”, “bisa kredit 0%” atau bahkan “nanti juga pasti diperlukan”!


Hmm…. Bagaimana, apakah hal-hal tersebut di atas terdengar sangat akrab di kehidupan Anda? Saya menulis topik ini dengan lancar, karena saya pernah mengalaminya semua! Tapi, dengan pengelompokan pos pengeluaran dan pemakaian rekening, sangat membantu saya dalam mengelola pengeluaran saya dan terutama menjadi penuntun dalam usaha mengurangi pemborosan.

Beberapa tips n tricks lainnya :
1. Utamakan bersedekah, entah itu zakat, persepuluhan atau konsep sedekah di agama-agama lain. Keluarkan segera setelah memperoleh gaji/pemasukan. Uang ini bukan hak kita dan kalau ditunda, cenderung tidak terbayar
2. Gunakan autodebet untuk pembayaran bulanan seperti telepon, PLN, PDAM, dsb. untuk menghindari alpa dan denda keterlambatan
3. Gunakan mekanisme pemaksa. Ikut tabungan berjangka, asuransi atau apapun yang membuat Anda merasa “wajib” untuk menyisihkan dana tabungan terlebih dahulu
4. Tanamkan dalam-dalam di benak Anda, seberapapun penghasilan Anda, Akan akan selalu memiliki kemampuan untuk menghabiskannya dengan segera! Jadi, buang jauh-jauh pikiran, “Saya akan menabung jika penghasilan saya sudah mencapai sekian, sekian, sekian!”
5. Rubah paradigma “Apa yang bisa saya beli dengan uang ini” menjadi “Apa yang bisa saya hasilkan dengan uang ini?”

Insya Allah, semoga bermanfaat!

1 komentar:

ara mengatakan...

bener banget ni aku juga termasuk yang ga bisa nabung. kalo nabung ujung2nya diambil. aku mau coba bawa bekel ahh. hehe